banner 640x200

Ironi di Wajo, Bendungan Diresmikan Presiden, Dua Kades Dipenjara, Lima Aset Desa Masih Tenggelam Tanpa Ganti Rugi

Andi Al Azir Mulki

Wajo, Katasulsel.com – Satu proyek strategis nasional yang digadang-gadang membawa kemakmuran, justru menenggelamkan lebih dari sekadar lahan dan bangunan. Ia menyeret kepala desa ke penjara, mengubur keadilan di balik upacara peresmian megah yang dihadiri Presiden.

Adalah Bendungan Paselloreng, di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, yang telah diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo pada 2021. Namun, tiga tahun pasca-peresmian, masyarakat masih menyimpan luka dan tanda tanya besar: siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab?

Dua Kepala Desa dan Tiga Pendamping, Plus Satu Pegawai BPN, Masuk Bui

Dua kepala desa—AJ (Kades Paselloreng) dan JK (Kades Arajang)—bersama tiga pendamping desa dan seorang pegawai ATR/BPN, divonis bersalah dalam kasus dugaan korupsi ganti rugi tanah bendungan. Dalihnya? Tanah yang diganti rugi berada di kawasan hutan lindung.

Namun, kejanggalan menyeruak: dari enam terdakwa, satu orang, NS (pendamping desa), dinyatakan tidak menimbulkan kerugian negara oleh Mahkamah Agung. Sebuah vonis yang janggal dalam satu paket perkara. Jika kerugiannya massal, mengapa hukumnya tidak merata?

“Lucunya, yang dianggap sebagai kerugian negara adalah tanah milik terdakwa sendiri yang justru dibayar oleh negara,” kata Andi Al Azir Mulki, anak dari Kades Paselloreng, Minggu, 11 Mei 2025.

Asset Desa Paselloreng Tenggelam, Tapi Tak Pernah Dibayar

Lebih miris lagi, hingga saat ini masih ada lima aset desa Paselloreng yang telah tenggelam akibat pembangunan bendungan, namun belum diganti rugi. Aset-aset tersebut bukanlah hal sepele:

  1. Kuburan warga,
  2. Sekolah Dasar,
  3. Lapangan Sepak Bola,
  4. Masjid, dan
  5. Kantor Desa.

Hamzah, Kasi Pengadaan Tanah ATR/BPN Kabupaten Wajo, mengakui bahwa kelima aset itu memang belum dibayarkan karena terkendala pembaruan data PendLO yang belum juga diselesaikan. “Setiap kali rapat dengan Balai, daftar tunggakan ini selalu muncul,” ujar Hamzah, dikonfirmasi terpisah.

Ironisnya, para kepala desa yang mati-matian memasang badan agar proyek ini sukses—hingga mengancam mundur dari jabatan demi meredam amarah warga—justru kini meringkuk di balik jeruji.

banner 300x600

Pasang Badan, Dapat Balasan Penjara

“Waktu itu, ayah saya dan Kades Arajang siap dihujat, bahkan berhenti dari jabatan demi menjaga nama baik Presiden yang datang meresmikan bendungan. Tapi apa balasannya? Penjara,” ucap Al Azir yang kini sudah tumbuh dewasa menempuh pendidikan tinggi di Makassar.

Tak hanya itu, Al Azir menyoroti fakta bahwa terdapat 168 orang lainnya yang menerima ganti rugi tanah, tapi tak satu pun terseret hukum. Kejaksaan hanya memilih enam orang. Selektif atau diskriminatif?

“Kalau memang ada kerugian negara, mengapa hanya enam orang yang diproses? Mengapa pejabat yang membuat laporan ke pusat hingga Presiden hadir seolah tanpa masalah, tidak turut diperiksa? Ini kebijakan atau jebakan?” tanyanya.

Kini, Warga Arajang Bergerak: Kantor Bendungan Disegel

Sebagai bentuk protes, warga Desa Arajang menyegel kantor Bendungan Paselloreng. Tuntutannya sederhana: bayarkan hak mereka. Sekitar lima hektar tanah milik warga dan sejumlah aset desa telah tenggelam tanpa ganti rugi.

Kini giliran masyarakat bertanya:

  • Apakah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?
  • Kenapa peresmian proyek tetap dilaksanakan meski banyak masalah belum selesai?
  • Kenapa keikhlasan dan keberanian para Kades dibalas dengan hukuman?

Jika pengabdian dibalas penjara, maka keadilan telah ikut tenggelam bersama masjid, sekolah, dan kantor desa di dasar Bendungan Paselloreng.

Editor: Edy Basri / Reporter: Marsose

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
banner 1920x480