banner 640x200

Dua Kota, Dua Arah — Parepare dan Palopo

Area pelabuhan Kota Palopo di malam hari

Makassar, katasulsel.com — Kota adalah organisme hidup. Ia tumbuh, menyusut, atau stagnan, tergantung pada stimulus yang diberikan. Dua kota di luar Makassar menunjukkan gejala urban yang bertolak belakang.

Parepare, yang notabene kota pelabuhan tua, tampak membeku dalam nostalgia. Sementara Palopo—yang hanya berstatus kota administratif (Kotif)—melaju seperti baru saja diberi suntikan adrenalin pembangunan.

Parepare, kota pesisir dengan sejarah panjang, kini ibarat mesin tua yang mesinnya terus menyala namun tak pernah berpindah gigi. Potensi geografisnya—berada di jalur utama logistik utara-selatan Sulawesi—tak berbanding lurus dengan performa pembangunan.

Secara fungsional, kota ini mengalami developmental fatigue—kelelahan tumbuh akibat kebijakan yang cenderung business as usual.

Ruang-ruang publik nyaris tidak berubah. Estetika kota berhenti di titik aman. Jalan Ahmad Yani dan sekitarnya padat, tapi tak tertata. Rel kereta api yang digadang-gadang membuka konektivitas, hanya tinggal kabar di seminar-seminar.

Sementara itu, Palopo justru melompat. Kota ini mengalami apa yang oleh perencana kota disebut sebagai urban leapfrog—loncatan pertumbuhan yang tidak linier. Tanpa banyak seremoni, Palopo mengejutkan banyak pihak dengan transformasi cepat, mulai dari manajemen perkotaan hingga layanan digital.

Sektor UMKM tumbuh seiring dengan konektivitas jalan provinsi yang diperbaiki. Investasi publik tampak diarahkan secara presisi. Gedung baru, taman kota, dan sentra ekonomi baru muncul, seolah kota ini menyimpan energi yang selama ini tertahan.

Menurut urban governance theory, kemajuan kota sangat ditentukan oleh political will. Dan itu terlihat jelas di Palopo.

banner 300x600

“Pemerintah di sini tidak menunggu pusat. Mereka kerja dulu, baru bicara. Ada otonomi gerak,” ujar Dian, peneliti tata ruang di Makassar, Selasa, 13 Mei 2025

Pengamat tata kota, Zulfikar Muin, menilai Parepare terlalu lama bermain aman, “Mereka masih pakai peta lama untuk membaca realitas baru. Padahal dunia sudah pakai kompas digital,” ucapnya

Ia menambahkan, status administratif tak lagi relevan jika daerah bisa menciptakan ekosistem pembangunan sendiri. “Palopo membuktikan itu. Yang dibutuhkan bukan gelar, tapi kerja,” katanya.

Stagnasi Parepare bukan karena ketiadaan sumber daya, melainkan ketidakberanian mengambil risiko. “Ketika birokrasi lebih sibuk mengelola masa lalu ketimbang membayangkan masa depan, kota akan tertinggal,” tambahnya.

Kontras antara Parepare dan Palopo bukan hanya soal infrastruktur. Ia adalah cerminan dari governance mindset—cara berpikir para pengambil kebijakan.

Parepare, seperti museum hidup, memelihara romantisme masa lalu. Palopo, seperti laboratorium kecil, bereksperimen dengan masa depan.

Jika keduanya adalah siswa dalam satu kelas pembangunan, Parepare adalah murid pintar yang malas belajar, sementara Palopo adalah siswa biasa yang rajin mencatat dan berani mencoba.

Dan seperti pepatah lama: bukan siapa yang duluan berangkat, tapi siapa yang lebih cepat melaju. (rais/iwan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
banner 1920x480