Kejahatan Sasar Gereja di Toraja Utara dan Tana Toraja Umat Tersentak
Tondon, Katasulsel.com — Malam yang seharusnya menjadi ruang sunyi bagi doa dan renungan, berubah menjadi saksi bisu dari sebuah tindakan profan yang menyayat rasa keimanan dan nilai-nilai moral. Di dua tempat berbeda, namun nyaris bersamaan waktunya, dua gereja di wilayah Tana Toraja dan Toraja Utara dilaporkan dibobol oleh pelaku kejahatan yang tak segan mencemari ruang ibadah.
Senin dinihari, 12 Mei 2025, menjadi momentum gelap bagi dua jemaat yang bangunan gerejanya menjadi sasaran pencurian. Di Makale, tepatnya di Gedung Gereja Toraja Jemaat Rante Mamabo, pelaku berhasil menggondol satu unit keyboard Yamaha PSR y700 yang bernilai Rp 15,5 juta serta satu unit power Yamaha P2000 senilai Rp 8 juta.
Sementara di Tondon, Toraja Utara, Gereja Katolik Stasi Tondok Batu yang berada di jalur poros Rantepao-Palopo juga tak luput dari tindakan serupa. Satu unit keyboard Yamaha yang diperkirakan seharga Rp 15 juta dilaporkan raib.
Peristiwa ini mengundang keprihatinan mendalam dari masyarakat. Tidak hanya karena nilai ekonomi barang yang hilang, namun juga karena simbol sakral yang diciderai. Rumah ibadah adalah sacred space — ruang suci yang secara teologis dianggap berada di luar jangkauan perilaku kriminal.
Ketika ruang tersebut dilanggar, kita tidak hanya menyaksikan pencurian dalam arti yuridis, tetapi juga profanisasi — yakni pergeseran fungsi sakral menjadi objek pelanggaran nilai. Ini bukan sekadar pembobolan, tetapi juga pembatalan secara diam-diam terhadap apa yang dianggap tak tersentuh.
Menurut Tambing Timang, pengurus Stasi Tondok Batu, pelaku masuk melalui jendela yang dicungkil secara paksa. “Masuk lewat jendela, dia cungkil itu jendela,” ungkapnya.
Laporan segera diajukan ke Polres Toraja Utara dan polisi telah melakukan olah tempat kejadian perkara untuk menelusuri jejak pelaku. Sementara itu, Polres Tana Toraja juga telah melakukan penyelidikan intensif atas kasus di Makale. Kasat Reskrim, Iptu Arlin Allolayuk, membenarkan bahwa aparat sudah bergerak cepat untuk menelusuri pelaku.
Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari krisis nilai yang lebih luas. Dalam teori moral disengagement yang dikemukakan oleh Albert Bandura, pelaku kejahatan seringkali menanggalkan norma dan nilai moral untuk membenarkan perilaku menyimpang. Dalam kasus ini, pelaku tidak hanya mengambil barang, tetapi juga menyerang simbol spiritual dan rasa aman kolektif masyarakat.
Aksi pencurian ini juga menunjukkan adanya celah pada sistem keamanan rumah ibadah, yang selama ini lebih mengandalkan kepercayaan dan keterbukaan, bukan proteksi material.

Maka, muncul dilema: bagaimana menjaga kesakralan rumah ibadah tanpa mengubahnya menjadi benteng tertutup? Apakah kita harus mengganti kepercayaan dengan pengawasan kamera, ataukah justru memperkuat peran komunitas sebagai penjaga nilai?
Tak bisa dimungkiri, tindakan kriminal yang menyasar tempat suci seperti ini mengguncang batin kolektif masyarakat. Ini adalah serangan terhadap rasa damai yang selama ini dijaga oleh iman dan kebersamaan.
Jika tempat paling sakral saja tak lagi aman, maka masyarakat berada dalam ancaman ketidakpastian yang lebih dalam — ancaman terhadap struktur sosial, spiritual, dan bahkan psikologis.
Dari perspektif sosiologi agama, ini adalah pertanda adanya socio-spiritual tension — ketegangan antara nilai-nilai keimanan dengan realitas sosial yang semakin permisif terhadap tindakan menyimpang. Maka, perlu dibangun kembali kesadaran kolektif bahwa menjaga tempat ibadah adalah bagian dari menjaga identitas moral kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai spiritual.
Sampai pelaku ditangkap, yang tertinggal bukan hanya kehilangan alat musik liturgi, tetapi juga luka batin yang dalam. Suara keyboard yang biasa mengiringi nyanyian pujian kini digantikan oleh keheningan yang menyimpan tanya: seberapa jauh kita telah kehilangan rasa hormat terhadap ruang suci?(*)
Editor: Edy Basri Reporter: Harianto