Skandal 9 Detik, Bone dan Sinjai Geger
ilustrasi
Makassar, Katasulsel.com — Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, tak ada lagi sekat absolut antara ruang privat dan ruang publik.
Inilah pelajaran pahit yang kini tengah mengemuka setelah beredar sebuah video singkat, berdurasi sembilan detik, yang memperlihatkan aktivitas intim dua orang muda-mudi.
Bukan soal durasinya yang membuat geger, tetapi karena sosok dalam video itu disebut-sebut sebagai seorang oknum guru dan nama sebuah sekolah di barat Kabupaten Bone tercantum di latar tayangan tersebut.
Viral di TikTok, video ini menimbulkan kehebohan besar dalam hitungan jam sejak pertama kali diunggah oleh akun anonim bernama @user1049491587551.
Jejak digital itu lantas mengarah ke sebuah kabar: sang perempuan disebut baru saja menikah. “Baru saja pesta pernikahannya, dia dari Sinjai, suaminya orang Bone,” ujar salah seorang warga yang memilih untuk tak disebutkan identitasnya, Selasa (13/5/2025).
Namun yang menjadi teka-teki, kapan sebenarnya video itu direkam? Dugaan sementara menyebut bahwa video tersebut adalah hasil dokumentasi hubungan masa lalu, yang tak pernah ditakdirkan untuk konsumsi publik.
Bahkan, beberapa pihak menduga video itu disebarluaskan oleh orang ketiga, mungkin mantan kekasih atau pihak yang ingin menjatuhkan.
“Kalau saya pribadi menduga itu direkam sebelum dia menikah. Entahlah, siapa yang sebar. Tapi katanya sudah dilaporkan di Sinjai,” tambah sumber tersebut.
Kasus ini pun kini memasuki ranah hukum. Kasat Reskrim Polres Bone, Iptu Alvin Aji, membenarkan bahwa video tersebut telah menjadi objek penyelidikan, namun mengonfirmasi bahwa laporan resmi telah diterima oleh Polres Sinjai. “Benar, laporan masuk di Sinjai. Mereka yang tangani,” kata Alvin singkat.
Fenomena ini tidak hanya menyentuh aspek hukum, tetapi juga moralitas dan etika penggunaan media digital. Pakar komunikasi digital menyebutkan bahwa dalam konteks ini, pelanggaran terhadap privasi, rekam jejak digital, serta UU ITE menjadi elemen yang sangat relevan untuk dikaji.
Video itu mungkin hanya sembilan detik, tapi dampaknya bisa sangat panjang. Ia menyeret individu ke dalam penghakiman publik, sekaligus membuka perbincangan lebih luas tentang pentingnya literasi digital, etika relasi personal, dan tanggung jawab hukum di era di mana “hapus” bukanlah jaminan “hilang”. (*)
Editor: Edy Basri I Reporter: Harianto