Parepare Sentra Jagung Sulsel, Siapa yang Menanam?
Oleh: La Ode Arwah Rahman
(Staf Pengajar Institut Teknologi BJ Habibie)
OPINI ini berangkat dari semangat kolaboratif yang mengemuka dalam pertemuan antara Pemerintah Kota Parepare dan Universitas Hasanuddin (Unhas) di Auditorium BJ Habibie, Rabu (14/5/2025), kemarin. Dalam pertemuan yang dihadiri langsung Wali Kota Parepare, H. Tasming Hamid dan Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Unhas, Prof DR Alimuddin Unde itu, muncul ide menggagas Parepare sebagai sentra pertanian jagung di Sulsel. Sebuah gagasan yang tentu layak mendapat sambutan hangat—terutama di tengah upaya daerah untuk mencari alternatif pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Gagasan tersebut menjadi angin segar, tidak hanya karena ia membuka ruang diversifikasi ekonomi lokal, tetapi juga karena menyentuh sektor riil yang selama ini kerap terpinggirkan oleh narasi urbanisasi: pertanian. Tak hanya itu, ide ini juga dinilai dapat mendukung upaya mewujudkan Parepare sebagai kota “Terbaik, Sejahtera, Maju” sebagaimana visi Wali Kota Parepare, sekaligus menjadi bagian dari strategi penanggulangan pengangguran yang saat ini menjadi tantangan nyata bagi Sulawesi Selatan, khususnya Parepare. Namun sebagaimana setiap rencana besar, ide ini menuntut pembacaan yang utuh atas lanskap sosial-ekonomi kota. Di atas kertas, jagung bisa ditanam, hasilnya bisa dipasarkan. Lahan bisa diidentifikasi, teknologi bisa disiapkan. Tapi satu pertanyaan besar tetap menggantung: siapa yang akan menanam?
Dalam forum tersebut, tergambar harapan besar bahwa pengembangan sektor pertanian, khususnya tanaman jagung, akan menjadi salah satu pendekatan solutif untuk mengurangi angka pengangguran. Hal ini masuk akal secara teoritis, mengingat sektor pertanian kerap dianggap sebagai buffer employment—yakni sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dalam skala besar, terutama saat sektor industri atau jasa tidak mampu memberi ruang yang cukup.
Namun sebelum terlalu jauh melangkah, penting untuk melihat lebih dekat postur ketenagakerjaan Kota Parepare. Berdasarkan data BPS Kota Parepare tahun 2024. Jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) mencapai 119.666 jiwa, meningkat 2,088 dibanding tahun 2023. Dari angka tersebut, angkatan kerja aktif sebanyak 83.373 jiwa—terdiri atas 79,015 orang bekerja dan 4,358 orang penganggur terbuka.
Selanjutnya, tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 69,67 %, lebih tinggi dari rata-rata provinsi. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,23 %, lebih tinggi dari rata-rata nasional, dan menandakan adanya tekanan serius di pasar kerja. Sementara itu, jumlah bukan angkatan kerja mencapai 36,293 jiwa, termasuk pelajar, ibu rumah tangga, dan lansia—segmen yang relatif sulit dimobilisasi dalam waktu cepat sebagai tenaga produktif.
Masalah tidak berhenti di angka. Kualitas dan orientasi tenaga kerja menjadi soal krusial. Generasi penganggur terbesar saat ini adalah generasi Z, yang mayoritasnya adalah lulusan SMK dan SMA. Mereka dididik untuk memasuki sektor industri atau jasa formal, bukan pertanian. Data BPS tahun 2024 menunjukkan dari sisi pendidikan, kelompok penganggur terbesar di Parepare saat ini adalah lulusan SMK, yang secara kurikulum disiapkan untuk bekerja di sektor industri dan jasa formal.
Kurikulum mereka, yang bersifat nasional dan seragam, membentuk mindset kerja yang sangat formal-oriented: sekitar 70 persen diarahkan untuk masuk industri, 15 persen melanjutkan pendidikan, dan hanya 15 persen yang didorong untuk berwirausaha. Artinya, dari sisi keterampilan dan pola pikir, mereka tidak disiapkan untuk menjadi petani.
Lebih jauh lagi, tantangan juga muncul dari sisi karakter demografis. Para penganggur usia produktif di Parepare didominasi oleh generasi Z—kelompok yang dikenal pragmatis, tech-savvy, namun pada saat yang sama cenderung kurang tertarik pada pekerjaan kasar yang tidak menjanjikan stabilitas ekonomi jangka pendek. Dalam konteks ini, pertanian, apalagi jika hanya diposisikan sebagai pekerjaan subsisten, mungkin bukan pilihan menarik bagi mereka. Maka, pertanyaan siapa yang akan menanam, menjadi semakin relevan dan kritis.
Karena itu, tawaran Unhas yang idealistik menjadi berisiko jika tidak dikaji dari sudut pandang postur ketenagakerjaan Kota Parepare. Meningkatkan daya tarik pertanian bagi generasi muda bukan sekadar urusan program tanam-menanam. Ini menyangkut persepsi, preferensi kerja, akses terhadap lahan, serta struktur pendapatan. Jika semua aspek ini diabaikan, maka pengembangan sektor pertanian justru akan gagal sebagai solusi jangka panjang.
Dengan struktur seperti itu, jelas bahwa Parepare menghadapi tantangan besar dalam penyediaan tenaga kerja sektor pertanian. Apalagi Parepare secara sosiogeografis bukanlah kota agraris, melainkan lebih identik sebagai kota jasa dan niaga. Luas lahan pertaniannya pun sangat terbatas dibanding kabupaten tetangga seperti Pinrang, Barru, atau Sidrap. Maka gagasan untuk menjadikan Parepare sebagai “sentra jagung” membutuhkan satu kata kunci: rekayasa sosial.
Jalan Tengah Menuju Aksi
Melihat celah antara ide dan struktur tenaga kerja tersebut, pendekatan jangka panjang dan sistematis menjadi mutlak. Universitas Hasanuddin dengan kapasitas keilmuannya justru berperan strategis dalam mengawal proses transisi ini agar tak menjadi sekadar proyek gagasan. Todaro & Smith (2020), mengatakan, perencanaan pembangunan yang berorientasi pada pasar tenaga kerja (labour market oriented planning) akan lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.
Pertama, sektor pendidikan menengah perlu dikonsolidasi. SMK perlu menjadi ujung tombak regenerasi petani muda. Kesulitannya, di Parepare tidak ada SMK khusus pertanian. Namun, Unhas bisa mendampingi dengan model kelas akselerasi atau skema transfer keilmuan yang lebih aplikatif. Model pembelajaran berbasis proyek, praktik lapangan, dan kewirausahaan pertanian bisa diintegrasikan ke dalam kurikulum (Suryani, 2019).
Kedua, untuk menjawab kebutuhan ketenagakerjaan jangka pendek, pemerintah daerah bersama perguruan tinggi dan mitra industri bisa mengembangkan pelatihan vokasional intensif. Pelatihan ini tak hanya membekali peserta dengan keterampilan teknis seperti budidaya jagung, manajemen pupuk, dan panen, tetapi juga literasi agribisnis dan digitalisasi pertanian. Menurut Badan Litbang Pertanian (2021), pelatihan berbasis praktik memiliki efektivitas tinggi dalam membangun kapabilitas kerja di sektor pertanian.
Ketiga, jelas perlu ada skema penyaluran kerja yang pasti. Jika para lulusan pelatihan hanya disiapkan untuk menjadi buruh tani tanpa insentif yang memadai, maka ketertarikan akan sulit tumbuh. Oleh karena itu, kejelasan mengenai status kerja, sistem pengupahan, hingga jaminan pasca-pelatihan menjadi sangat penting. Studi Bank Dunia (2020) menunjukkan bahwa faktor job security dan prospek penghasilan yang layak sangat memengaruhi keterlibatan pemuda dalam sektor pertanian.
Keempat, dukungan sistem harus dibangun secara simultan: mulai dari ketersediaan lahan, akses pupuk dan irigasi, kemudahan permodalan, hingga jaminan pasar. Tanpa ini, sektor pertanian akan terus berada dalam lingkaran ketidakpastian yang membuatnya tak menarik bagi angkatan kerja muda. Ekosistemnya harus dibangun secara sungguh-sungguh jika menginginkan program ini bersifat sustainable.
Sebagai penutup, gagasan menjadikan Parepare sebagai sentra jagung bukanlah gagasan yang mustahil. Ia memiliki potensi untuk menjadi motor penggerak ekonomi baru, asal dibangun di atas fondasi yang kokoh. Data ketenagakerjaan yang ada bukan untuk menyangsikan ide, tetapi sebagai cermin bahwa diperlukan desain intervensi yang akomodatif terhadap postur tenaga kerja lokal. Jika ide besar ini disandingkan dengan langkah-langkah sistematis seperti pendidikan vokasional, pelatihan teknis, model kerja yang jelas, dan dukungan ekosistem pertanian yang menyeluruh, maka pertanyaan “siapa yang akan menanam?” bisa dijawab: mereka yang dipersiapkan dengan baik dan diberi peluang nyata. (*)