Membedah KUHP Lama dan KUHP Baru, Berlaku Delapan Bulan Lagi
Tidak lama lagi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akan resmi berlaku. Tepatnya, mulai 2 Januari 2026. Jika dihitung dari hari ini, 18 Mei 2025, maka waktu yang tersisa kurang dari delapan bulan lagi.
Oleh: Edy Basri, S.H.
Akademisi / Ketua IWO Sidrap
SAAT ini, penerapan KUHP baru hanya tinggal menunggu waktu, beririsan dengan rampungnya revisi terhadap KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Anggota Komisi III DPR RI, Rusdi Masse Mappasessu dalam agenda sosialisasi di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan belum lama ini menegaskan, revisi KUHAP lama, tersegerakan.
Indonesia memasuki era baru hukum pidana. KUHP lama—warisan kolonial Belanda—akan ditinggalkan. Pergantian ini bukan hanya simbolik. Ia menyentuh struktur, substansi, dan filosofi hukum pidana itu sendiri.
KUHP lama terdiri atas 569 pasal, tersebar dalam 49 bab. Sedangkan KUHP baru memuat 628 pasal dalam 42 bab. Secara kuantitatif, ada penambahan norma, namun dengan pengelompokan yang lebih sistematis.
Struktur buku juga berubah. KUHP lama memisahkan antara delicta sebagai misdrijven (kejahatan) dan overtredingen (pelanggaran).
KUHP baru menghapus dikotomi ini. Hanya ada dua buku: Buku I – Ketentuan Umum, dan Buku II – Tindak Pidana. Ini menandai pergeseran paradigma: semua perbuatan melawan hukum kini dianggap sebagai satu kesatuan tindak pidana.

Pasal-pasal dalam KUHP baru mengakui eksistensi hukum yang hidup di masyarakat (living law). Hukum adat, dalam batas tertentu, kini dapat dijadikan dasar pemidanaan.
Ini bentuk rekognisi terhadap pluralisme hukum di Indonesia. Secara teori, ini masuk dalam ranah legal pluralism dan sociological jurisprudence.
KUHP baru memperluas jenis pidana. Tak lagi terbatas pada pidana penjara dan denda. Kini, diperkenalkan pidana pengawasan, kerja sosial, hingga pidana penutupan usaha. Ini adalah wujud pendekatan restorative justice—fokus pada pemulihan, bukan semata balas dendam.
KUHP baru mengatur pidana mati sebagai pidana khusus (extraordinary punishment). Ia bukan lagi satu-satunya akhir. Eksekusinya bisa ditangguhkan selama 10 tahun. Jika terpidana menunjukkan resosialisasi, pidana dapat dikonversi. Ini sejalan dengan prinsip right to life dalam hak asasi manusia.
Dalam KUHP lama, asas culpa dan mens rea menjadi basis pertanggungjawaban. KUHP baru memperkenalkan strict liability—tanpa harus dibuktikan kesalahan. Juga ada konsep pertanggungjawaban pengganti, misalnya dalam tindak pidana korporasi. Ini membuka ruang bagi pertanggungjawaban pidana subjek hukum non-pribadi.
KUHP baru adalah transformasi hukum pidana menuju keadilan substantif. Ia merepresentasikan upaya kodifikasi hukum pidana modern yang kontekstual, progresif, dan humanis. Namun, implementasi akan menjadi tantangan tersendiri.
Hukum bukan hanya soal teks, tetapi juga praktik. Maka, reformasi hukum pidana ini menuntut kesiapan seluruh penegak hukum dan masyarakat sebagai subjek hukum aktif. (*)