HEADLINE

Cuaca Ganas, Tubuh Harus Tangguh Jelang Wukuf

Teuku Yudhistira

Makkah. Panas menyengat. Langit nyaris tak berawan. Bayangan nyaris tak tampak. Suhu tembus 46 derajat Celcius. Lembab. Keringat langsung menguap. Jalan aspal memantulkan panas seperti tungku.

Laporan : Teuku YudhistiraMakkah

SAYA menulis ini dari sudut lobi Hotel Syisyah, tak jauh dari Masjidil Haram. Di luar, petugas berpakaian hijau limau membagikan air zamzam dalam botol kecil. Tangannya cekatan. Matanya letih. Tapi ia tetap tersenyum pada jemaah yang lewat tertatih.

Ini hari-hari krusial. Detik menuju Armuzna—Arafah, Muzdalifah, Mina. Puncak ibadah haji. Jutaan manusia akan bergerak dalam satu tarikan nafas spiritual yang sama. Tapi tubuh mereka tak sama kuatnya.

dr. M. Imran, Kepala Bidang Kesehatan PPIH Arab Saudi, tidak ingin lengah. Dalam konferensi pers di Kantor Urusan Haji, ia menyebut angkanya: 46 derajat Celcius.
“Dan bisa lebih,” katanya.

Saya lihat wajahnya tegang. Bukan panik. Tapi tahu: ini serius.

Lebih dari 71 ribu jemaah Indonesia sudah di Makkah. Targetnya 203 ribu. Kota ini semakin padat. Udara panas bercampur dengan karbon, debu, dan napas.

Hasil pantauan medis menunjukkan lonjakan:
1.167 kasus ISPA hingga 18 Mei
Ratusan kasus hipertensi dan diabetes
28 jemaah wafat, kebanyakan karena jantung dan infeksi sistemik

ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut bisa memburuk menjadi pneumonia. Di klinik KKHI, saya lihat beberapa jemaah terbaring. Masker oksigen menutupi wajah. Seorang perawat menyuntik cairan infus, tangannya sigap tapi pelan. Tak ada suara. Sunyi. Seperti doa yang mengalir diam-diam.

“Jangan tunggu haus,” kata dr. Imran.
Ia menyarankan minum 200 cc per jam saat berada di luar.
“Air zamzam jangan cuma buat oleh-oleh,” katanya dengan nada separuh bercanda.

Jemaah juga diimbau:
Tidak keluar hotel antara pukul 10.00–16.00 WAS
Gunakan masker jika flu
Hindari umrah sunah, bagi lansia dan penyandang komorbid
Lakukan zikir, tadarus, dari dalam kamar
Tawaf dan sa’i? “Gunakan kursi roda,” kata Imran. “Jangan sungkan.”

Ada satu hal yang berulang kali ia tekankan: konsultasi dengan dokter kloter minimal seminggu sekali.
“Kalau punya hipertensi, atau diabetes, jangan nekat. Minum obat. Jangan skip,” katanya tegas.

Cuaca ini bukan hanya soal fisik. Ini seleksi alam. Ujian kesabaran. Yang menang bukan yang paling bugar, tapi yang paling taat menjaga diri.

Beberapa jemaah yang saya temui di depan Masjidil Haram memilih istirahat. Ada yang hanya beribadah di hotel. “Yang penting sehat untuk Arafah,” kata Pak Masduki, jemaah asal Batang, Jawa Tengah.

Arafah adalah puncak. Tapi sebelum ke sana, tubuh harus cukup energi. Sebab Arafah bukan tempat istirahat. Ia ladang wukuf. Medan spiritual. Harus dilalui dengan jiwa bersih dan tubuh tak rubuh.

Di kota ini, panas seperti ujian. Kepadatan adalah tekanan. Kematangan iman diuji lewat peluh.

Jemaah harus pandai menyiasati energi. Jangan boros stamina untuk hal sunah. Fokus pada yang wajib. Haji ini bukan marathon spiritual. Tapi perjalanan panjang yang butuh strategi. Butuh disiplin medis.

Saya tahu, semangat jemaah begitu besar. Tapi jangan lupa, iman yang tangguh pun butuh tubuh yang cukup kuat.

Saya menutup catatan ini sambil menatap horizon Makkah. Langit seperti membara. Udara terasa berat. Tapi di setiap langkah jemaah, ada tekad yang tak bisa diuapkan suhu.

Semoga semua sehat. Semoga semua sampai Arafah. Semoga semua kembali ke Tanah Air, membawa haji yang mabrur. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
Exit mobile version