Framing Jahat terhadap Budi Arie, Ketua Projo Sidrap: Upaya Mematikan Projo
Oleh: Dr. Maryono
Ketua Projo Sidrap
DALAM dunia komunikasi politik, terdapat satu konsep klasik yang kini kembali menyeruak: framing theory atau teori pembingkaian.
Teori ini menyatakan bahwa bagaimana suatu peristiwa dikemas atau dibingkai akan mempengaruhi persepsi publik terhadapnya.
Dan hari-hari ini, teori tersebut menemukan relevansi akut dalam apa yang sedang menimpa Ketua Umum Projo, Bapak Budi Arie Setiadi.
Tak dapat dimungkiri, sejak di bawah kepemimpinan beliau, Pro Jokowi atau Projo telah mengalami transformasi signifikan.
Organisasi ini tidak hanya menjadi wadah relawan, tetapi telah menjelma sebagai kekuatan sosial-politik dengan daya penetrasi elektoral yang kuat. Keberhasilan mendukung pasangan Prabowo-Gibran pada Pemilu 2024 adalah manifestasi konkrit dari daya mobilisasi dan soliditas organisasi ini.
Namun, seperti hukum Newton ketiga tentang aksi dan reaksi, semakin besar kekuatan suatu entitas, semakin besar pula gaya yang berusaha melawannya.
Dalam konteks ini, kekuatan politik Projo menghadirkan apa yang disebut dalam ilmu politik sebagai perceived threat—yakni ancaman yang dipersepsikan oleh pihak lain sebagai potensi menggoyahkan dominasi kekuasaan yang mapan.

Maka tidak mengherankan jika kemudian muncul upaya sistematis untuk melakukan delegitimasi personal terhadap Bapak Budi Arie Setiadi.
Framing jahat, disinformasi, dan bahkan insinuasi bernuansa karakter assasination menjadi alat propaganda yang dipakai.
Tujuannya jelas: bukan hanya menggoyang pribadi Budi Arie, tetapi juga melemahkan simpul-simpul ideologis dan struktural Projo secara keseluruhan.
Secara epistemologis, kita dapat menyebut ini sebagai political attrition—proses sistematis untuk mengikis legitimasi politik seseorang melalui strategi yang bersifat erosif, bukan frontal. Ini adalah bagian dari soft power conflict dalam politik kontemporer.
Namun mereka yang bermain di balik tirai harus sadar, bahwa Projo bukan sekadar organisasi yang bergantung pada satu tokoh.
Di bawah kepemimpinan Bapak Budi Arie Setiadi, Projo telah membangun apa yang dalam teori organisasi disebut adaptive institutional system—sebuah model kelembagaan yang luwes, responsif, dan tahan terhadap tekanan.
Soliditas ini tidak dibangun secara instan. Konsolidasi organisasi berjalan dengan pendekatan sistemik, melibatkan capacity building di akar rumput, pelatihan kaderisasi politik, dan pembentukan opini publik berbasis grassroots legitimacy.
Oleh sebab itu, serangan terhadap pribadi Ketua Umum Projo bukan hanya keliru, tetapi juga cenderung kontraproduktif. Sebab, dalam tubuh Projo, ada semangat kolektif yang tak bisa dipadamkan dengan isu personal.
Sosok Budi Arie dalam konteks ini bisa kita sebut sebagai moral epicentrum organisasi. Ia adalah tokoh yang merepresentasikan organizational spirit sekaligus menjadi titik temu narasi perjuangan rakyat.
Maka, tak salah jika pihak-pihak yang melihat Projo sebagai ancaman politik, akan terlebih dahulu berusaha melemahkan figur ini.
Namun demikian, kami sebagai bagian dari keluarga besar Projo, menolak tunduk pada logika intimidasi dan permainan citra.
Kami tahu persis bahwa organisasi kami memiliki akar kuat di tengah masyarakat. Sebab Projo adalah suara rakyat, bukan sekadar alat politik elektoral.
Di saat seperti inilah, semangat solidaritas organik—meminjam istilah Émile Durkheim—menjadi kunci utama.
Kami berdiri satu barisan, tidak hanya membela figur Ketua Umum kami, tetapi juga membela prinsip dasar bahwa politik harus dijalankan dengan akal sehat, etika, dan penghormatan terhadap integritas individu.
Akhir kata, kami mendoakan Bapak Budi Arie Setiadi agar senantiasa diberi kekuatan dalam menghadapi ujian ini.
Kami juga tegaskan, Projo bukan organisasi yang mudah digoyahkan. Kami akan terus menjaga marwah organisasi dan tetap setia berada di garis rakyat, sebab dari sanalah kekuatan sejati kami berasal.
Catatan: Artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis