Selamat Jalan Jenderal.. Komjen (Purn) Jusuf Manggabarani
Makassar terasa kelabu, seakan ikut menyimpan duka atas kepergian seorang perwira tua yang pernah berdiri di puncak Bhayangkara. Komjen (Purn) Jusuf Manggabarani
Oleh: Edy Basri
DI RUANG perawatan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, tepat pukul 11.15 WITA, Selasa 20 Mei 2025, Komjen (Purn) Jusuf Manggabarani menghembuskan napas terakhirnya dalam keheningan yang dalam.
Usianya 72 tahun, tapi warisan yang ia tinggalkan jauh lebih panjang dari angka-angka usia yang tertulis di surat kematian.
Rumah duka di Perumahan Bukit Khatulistiwa, Tamalanrea, Makassar, hari itu tak putus dijejali pelayat.
Rekan-rekan seangkatan, anak buah yang pernah ia didik, para sahabat, tetangga, dan sejumlah tokoh datang tanpa perlu diundang, karena mereka merasa kehilangan yang tidak sederhana.
Jusuf Manggabarani lahir di Gowa pada 11 Februari 1953, dari keluarga Bugis yang keras dan berdisiplin.
Nilai-nilai hidupnya dibentuk oleh semangat merantau, kejujuran, dan keyakinan bahwa takdir adalah milik mereka yang berani menempuh jalan berat dengan kepala tegak.
Ia bergabung dengan Akabri Kepolisian pada 1975, dan sejak saat itu, nyaris seluruh hidupnya diabdikan dalam seragam cokelat.
Ia menempuh berbagai pendidikan lanjutan yang hanya diikuti oleh perwira pilihan—Jurpa Brimob, PTIK, Sespim, hingga Sespati. Tapi Jusuf tak pernah terpaku pada gelar dan bintang, ia lebih tertarik pada makna tugas dan kebermanfaatan jabatan.
Kariernya membentang panjang, mulai dari pos-pos kecil di daerah terpencil, hingga ke gedung-gedung berpendingin udara di Mabes Polri.
Ia menjabat sebagai Kapolda Sulawesi Selatan, Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam, Kadiv Propam, Irwasum, dan mencapai puncak sebagai Wakil Kepala Kepolisian RI pada 2010, sebelum pensiun setahun kemudian.
Tapi jika ditanya apa yang paling membekas dari kariernya, banyak yang justru menyebut sebuah kisah dari Palopo—tentang bagaimana Jusuf, yang saat itu masih berpangkat Komisaris Besar, dengan tenang menerima tantangan duel dari seorang preman kejam bernama Sukri, yang selama bertahun-tahun membuat gentar aparat dan warga.
Dalam konfrontasi itu, Jusuf berdiri sendiri, menatap Sukri tanpa gentar, dan berakhir dengan kemenangan yang tidak hanya fisik, tapi simbolik.
Sejak itu, banyak yang menganggap Jusuf “kebal peluru,” tapi mereka yang mengenalnya lebih dalam tahu bahwa yang benar-benar kebal adalah moralnya.
Jusuf bukan tipe perwira yang haus sorotan. Ia lebih senang mendengarkan ketimbang berpidato, lebih suka berjalan di tengah anggota daripada duduk nyaman di balik meja rapat.
Kepada wartawan, ia dikenal terbuka namun tetap menjaga batas. Tegas, namun tak pernah membentak.
Dalam setiap kebijakannya, ada jejak pemikiran yang dalam, tidak reaktif, dan selalu memihak pada akal sehat serta nurani hukum. Ia percaya bahwa kepolisian bukan sekadar alat negara, tapi juga cermin keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Setelah pensiun, ia tak lantas menghilang. Ia menulis, berbagi pengalaman, dan pada 2011 menerbitkan buku biografinya berjudul Cahaya Bhayangkara, sebuah kisah panjang yang tak sekadar berisi catatan karier, melainkan refleksi tentang nilai, kehormatan, dan tanggung jawab.
Buku itu diam-diam dibaca banyak perwira muda. Sebagian mengutipnya dalam pidato, sebagian lagi menjadikannya rujukan dalam memahami apa artinya menjadi polisi yang setia pada rakyat dan tidak goyah oleh kuasa.
Kini, setelah ia pergi, gema langkahnya masih terasa. Di antara lorong-lorong kantor polisi yang pernah ia singgahi, di barak-barak yang dulu menjadi tempatnya melatih disiplin, di ruang-ruang rapat tempat ia mengubah keputusan menjadi jalan keluar, dan terutama di hati orang-orang yang pernah disentuh oleh ketegasan dan kebaikannya.
Besok, jenazahnya akan diterbangkan ke Jakarta dan dimakamkan dengan upacara kehormatan negara. Tapi lebih dari itu, ia telah lebih dulu dimakamkan di tempat yang lebih abadi—di dalam ingatan kolektif sebuah bangsa yang tahu bagaimana menghargai pejuang yang tulus.
Tidak semua jenderal meninggalkan cerita. Tapi Jusuf Manggabarani bukan semua jenderal. Ia adalah pengecualian yang meninggalkan jejak panjang, bukan hanya di institusinya, tapi di dalam kesadaran bahwa keberanian bisa datang dengan senyap, tanpa sorak-sorai, namun tetap kokoh dan utuh.
Selamat jalan, Jenderal. Tak ada sirene pengiring yang bisa menggambarkan penuh hormat kami padamu. Tapi diam kami hari ini adalah bentuk paling dalam dari penghormatan itu. (*)
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan