Di Balik Gubuk Reyot Wa Ali di Sidrap
Sudah lebih dari sepuluh kali rumahnya didata. Tapi, bantuan tak pernah datang.
Oleh: Hamka Wellu
DI ANTARA rimbunnya pepohonan bambu dan semak liar, berdiri sebuah rumah panggung tua yang nyaris rebah dimakan usia.
Tiangnya miring ke kiri. Dinding kayunya lapuk. Atap bagian belakang sudah bocor-bocor. Tapi dari tangga kayu yang mulai rapuh itu, seorang lelaki tua tetap berdiri tegak.
Kemejanya kotak-kotak. Sarungnya lusuh. Matanya menatap jauh ke depan—seolah ingin berkata, “Kami mungkin tak punya banyak, tapi kami masih punya hidup dan harga diri.”
Itulah Alimuddin. Warga memanggilnya: Wa Ali. Usianya lebih dari 70 tahun. Tinggal di Desa Bapangi, Kecamatan Panca Lautang, Kabupaten Sidrap.
Di gubuk tua miliknya itu, ia hidup bersama dua anaknya yang juga kepala keluarga. Satu rumah. Tanpa sekat. Tanpa privasi.
Di sudut kiri rumah, antena parabola kecil berdiri miring. Di sebelahnya, kamar mandi dari seng bekas. Di kolong rumah, tergantung baju-baju, sepeda tua, dan beberapa ember.
Semuanya sederhana. Tapi semua itu nyata. Tanda bahwa hidup masih terus berjalan meski berat.
Wa Ali tak pernah marah pada keadaan. Ia tahu hidup memang tidak mudah. Dulu, ia pekerja keras. Tukang kebun. Tukang batu. Serabutan. Apa saja ia kerjakan. Sekarang, tubuhnya tak lagi kuat.
Jalannya lambat. Tenaganya habis hanya untuk menyalakan tungku di pagi hari.
“Sekarang cuma bisa duduk. Kalau lapar, tunggu anak,” katanya pelan, sambil duduk di atas kasur tipis di lantai papan yang sudah miring.
Anak-anaknya bekerja di pembakaran batu bata. Penghasilannya tak tentu. Kadang ada. Sering kali tidak. Tapi mereka tetap berusaha. Setiap hari. Setiap minggu. Tanpa keluhan. Karena hidup memang harus dijalani.
Rumah itu pernah dijanjikan akan dibedah. Kata Wa Ali, sejak 2018, rumahnya sudah sering didata. Berkali-kali. Tapi bantuan tak pernah datang.
“To sabbara mani bawang. Lebbina akko seppulo i data melo bedah rumah, mappanmula tahun 2018, na lettu makkokkoe depa gaga,” katanya dengan senyum kecil yang pasrah.
Itu bahasa lokal (Bugis) di Sidrap, Artinya: “Sudah sabar bagaimana lagi. Sudah lebih dari sepuluh kali didata sejak 2018, tapi sampai sekarang belum ada kabar.”
Warga sekitar tahu kondisi Wa Ali. Mereka tahu, rumah itulah yang paling darurat di dusun itu. Tapi kepala desa yang ingin dikonfirmasi justru tidak berada di tempat.
“Lagi di Makassar, Pak. Kami juga tidak tahu kapan kembali,” kata staf desa, Selasa, 20 Mei 2025.
Seorang warga yang enggan disebut namanya mengaku, kepala desa memang jarang di kantor.
Wa Ali tidak menuntut banyak. Ia tidak ingin rumah mewah. Ia hanya ingin tempat yang lebih layak untuk tinggal. Tempat yang tidak khawatir roboh jika hujan atau angin kencang datang malam-malam.
Ia hanya ingin bisa tidur nyenyak di sisa usianya. Bukan di kasur tipis di atas papan lapuk. Bukan dalam gelap yang hanya diterangi lampu minyak kecil. Dan bukan dalam ruang sempit tanpa harapan.
“Kalau bisa, saya mau rumah yang cukup untuk istirahat. Tidak usah bagus. Asal tidak roboh saja,” katanya, pelan. Tapi nadanya seperti menahan harap.
Ketika sore datang, angin kembali masuk melalui celah dinding. Sejuk. Tapi juga menyakitkan. Karena di balik angin yang menyejukkan itu, ada kenyataan pahit: rumah itu masih berdiri. Tapi sampai kapan?
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan