Dari Makassar ke Lembah Ramma Malino-Gowa: Jejak Persahabatan di Tengah Hutan

Dari Makassar ke Lembah Ramma Malino-Gowa: Jejak Persahabatan di Tengah Hutan

Di suatu pagi yang cerah, saya memutuskan untuk menjelajahi salah satu keajaiban alam yang tersembunyi di Sulawesi Selatan: Lembah Ramma.

Laporan: Said

BERBEKAL semangat petualang dan rasa ingin tahu yang tinggi, saya mempersiapkan diri untuk pendakian yang akan membawa saya ke dalam pelukan alam yang begitu memukau.

Lembah Ramma dikenal sebagai salah satu jalur pendakian dengan panorama paling spektakuler terletak di Kecamatan Malino, Kab. Gowa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan.

Dikelilingi pegunungan tinggi dan hutan lebat yang hijau, tempat ini seperti surga bagi para pencinta alam.

Meski bukan kali pertama saya menginjakkan kaki di lembah ini, pendakian kali ini terasa berbeda. Saya tidak sendiri.

Bersama Ardi, Akbar, Ilyas, Sultan, dan Suardi, kami menyusun langkah menuju keindahan yang tak pernah gagal membuat kami jatuh cinta lagi dan lagi.

Perjalanan dari Makassar kami tempuh selama beberapa jam sebelum akhirnya tiba di pintu gerbang pendakian via Panaikang.

Suasana di sana begitu tenang. Kicau burung dan hembusan angin menjadi musik pembuka sebelum kaki benar-benar melangkah. Beberapa pendaki lain juga tampak bersiap.

banner 300x600

Di pos registrasi, kami disambut oleh Tata Mandong, sosok ramah yang dikenal sebagai pemandu lokal sekaligus penjaga pos.

Rumahnya sering dijadikan tempat istirahat oleh para pendaki. Tata adalah pendaki senior yang telah mengenal tiap lekuk sudut Lembah Ramma lebih baik dari punggung tangannya sendiri.

Pendakian dimulai. Jalur setapak yang kami lalui dikelilingi pepohonan rimbun dan tanah yang lembap. Suasananya sunyi namun menenangkan.

Setiap langkah membawa kami lebih dalam ke pelukan alam. Setelah beberapa jam berjalan, kami tiba di titik pandang yang membuat saya terdiam.

Dari sana, Lembah Ramma terlihat begitu sempurna—hamparan hijau sejauh mata memandang, sungai yang mengalir jernih, dan kabut tipis yang menari di antara pepohonan.

“Masya Allah,” bisik saya, tak kuasa menahan rasa takjub.

Ardi mengajak kami untuk beristirahat di batu besar yang menghadap ke lembah. Sambil menyantap bekal, kami saling bertukar cerita.

Tentang kehidupan masyarakat sekitar yang menggantungkan hidup pada alam, tentang bagaimana mereka menjaga kelestarian lingkungan, hidup seirama dengan hutan dan sungai.

Perjalanan pun kami lanjutkan. Jalur semakin menantang—tanjakan curam, bebatuan licin, dan tubuh yang mulai lelah. Tapi semangat tak surut.

Kata-kata teman-teman saya menjadi penguat:
“Teruslah maju. Pemandangan di atas akan membayar semua ini.”

Dan benar saja. Setelah berjam-jam melawan lelah, akhirnya kami tiba di puncak Lembah Ramma.

Saya terpaku. Di depan mata terbentang bentang alam yang tak bisa dilukis dengan kata. Udara dingin menyentuh kulit, tapi hati terasa hangat. Lelah? Hilang.

Semua diganti oleh pemandangan yang begitu indah, seolah surga sedang tersenyum dari kejauhan.

Kami mengabadikan momen itu dengan kamera dan juga di hati. Duduk bersama, diam, lalu tertawa kecil—karena kami tahu, kami baru saja menyentuh keajaiban.

Lembah Ramma bukan sekadar destinasi. Ia adalah pengalaman. Ia adalah pelukan alam yang akan selalu membuat siapa pun ingin kembali. (edybasri)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
banner 1920x480