Jemaah Haji Pinrang, Makassar, Maros, dan Bone Meninggal Saat Ibadah Haji

Makassar — Tanah Suci turut berduka. Sembilan jemaah haji asal Indonesia timur, tergabung Embarkasi Makassar, wafat dalam proses ibadah. Duka tak hanya bagi keluarga, tapi juga bagi daerah asal mereka—yang melepas penuh harap, kini menyambut dengan doa.

Delapan jemaah wafat di Arab Saudi. Satu lainnya tutup usia sebelum berangkat.

Humas Kemenag Sulsel, Mawardy Siradj, menyampaikan rincian. “Kita telah kehilangan delapan jemaah di Tanah Suci, masing-masing dari berbagai kabupaten/kota,” ujarnya di Makassar, Rabu 28 Mei 2025.

Duka datang dari Makassar. Amirah Tayyimah (68), jemaah Kloter 1, wafat di Makkah.

Tangis menyelimuti Sinjai. Ambo Bennu Petta Nini dari Kloter 12 berpulang di Makkah.

Maros juga kehilangan. Rahmat Slamet (55), Kloter 12, wafat di Madinah.

Air mata tumpah di Pinrang. Sapo Panisi Lili (79), Kloter 2, menghembuskan napas terakhir di Makkah.

Dari timur jauh, Papua berkabung. La Apala (60), Kloter 27 dari Biak Numfor, wafat di Makkah.

banner 300x600

Polewali Mandar, Sulawesi Barat, turut meratap. Sitti Nur Kunding (46), Kloter 19, wafat di Madinah.

Lalu, dari Ternate, Maluku Utara. Amin Abdullah (68), Kloter 17, berpulang di Makkah.

Bone, Sulawesi Selatan, juga tercatat. Nurhaya Binti Palangeang (66), Kloter 9, wafat di Makkah.

Dan kasus terakhir datang dari Kloter 32. Jamida Lamo Suren, usia 86 tahun, wafat setelah dirawat di Saudi National Hospital. Asal daerahnya belum dipastikan, namun masuk dalam daftar Embarkasi Makassar.

Jamida sempat muntah-muntah pada 27 Mei. Stabil pagi harinya, sempat makan bubur. Namun tubuhnya kembali drop, kehilangan kesadaran. Diagnosa medis: cardiac arrest—henti jantung mendadak.

Fenomena ini kembali mengangkat problem klasik: usia lanjut dan faktor komorbid. Dua hal yang terus mengintai jemaah lansia. Dalam terminologi medis, kematian mendadak ini sering kali dipicu kelelahan akut, tekanan iklim, hingga kekurangan cairan.

Secara kebijakan, ini alarm. Negara perlu kembali meninjau regulasi pemilihan jemaah lansia. Apakah pendekatan spiritual sudah seimbang dengan pendekatan medis? Apakah seleksi masih berpijak pada daftar tunggu semata, atau telah mempertimbangkan aspek fisiologis?

Haji bukan hanya soal kuota. Ia menyentuh ranah etika kebijakan publik. Negara harus berpihak pada keselamatan. Bukan membiarkan daftar panjang menumpuk tanpa mitigasi.

Kematian jemaah bukan hanya statistik. Ia adalah nyawa, adalah warga negara, adalah bagian dari tanggung jawab publik. Terutama bagi Sulawesi Selatan dan Indonesia timur—wilayah yang menyumbang jumlah jemaah cukup besar tiap musim haji.

Di tengah duka ini, satu hal pasti: para almarhum wafat di tanah yang dimuliakan. Mereka pergi sebagai tamu Allah. Mereka pulang tanpa dosa. Tapi bagi kita yang ditinggalkan, tugasnya adalah memperbaiki sistem—agar jemaah berikutnya tidak berangkat dalam risiko tinggi.(ris)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup