Luka yang Tak Terdengar dari Tanjong Manik, Wajo — Sulawesi Selatan

Ilustrasi

Di sinilah: Tanjong Manik. Sebuah dusun kecil di Desa Assorajang, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Tak ada yang benar-benar tahu tempat ini—kecuali mereka yang melewatinya dengan mata basah dan hati yang genting.

Laporan: Edi Prekendes-Wajo, Sulsel

LOKASI ini, mungkin tak tampak di peta. Juga tak disebut dalam percakapan atau diskusi di warkp-warkop. Tapi di sanalah tiga nama hidup dalam diam panjang: Mase, Asmiranda, Gustina.

Mereka bukan hanya hidup dalam satu atap. Mereka hidup dalam satu luka.

Saya menyusuri jalan tanah merah yang menganga, berdebu, kering, dan getir. Seolah itulah metafora kehidupan di dusun ini. Di ujung jalan, berdiri sebuah rumah panggung. Tuanya bukan sekadar usia—tapi sejarah luka yang tak dirawat. Papan-papannya berlubang. Tiangnya rapuh. Angin masuk, dan tak pernah keluar dengan tenang.

ADVERTORIAL

Ikatan Wartawan Online (IWO)
Sidenreng Rappang

Mengucapkan Selamat Atas Terpilihnya:

  • Darwis Pantong — Ketua PWI Sidrap
  • Arief Aripin., S.H — Sekretaris PWI Sidrap
  • Darwis Junudi — Bendahara PWI Sidrap

Semoga Amanah Dalam Menjalankan Tugas.

Edy Basri., S.H.

(Ketua IWO Sidrap)

Saya mengetuk, tapi tak perlu menunggu. Rumah ini seperti terbuka bagi siapa pun, tapi tidak menyambut siapa pun.

Di dalamnya, waktu berhenti. Tak ada jam. Tak ada kalender. Hanya kesunyian yang menggumpal di setiap sudut.

Di sinilah ketiganya tinggal. Mase, sang kakak. Asmiranda dan Gustina, adik-adiknya. Ketiganya mengalami gangguan jiwa. Bertahun-tahun. Dalam rumah yang bahkan tak sanggup melindungi dari dingin, apalagi dari stigma.

banner 300x600

Tubuh mereka kadang terikat rantai. Bukan karena kejam, tapi karena takut. Takut mereka melukai diri. Atau dilukai orang. Sebuah dilema yang lebih mengiris dari sekadar logika.

Saya duduk di lantai kayu yang berderit. Memandang mereka tanpa kata. Karena kata-kata sudah lama tak punya tempat di rumah ini.

Apa yang lebih menyakitkan dari tubuh yang terkurung? Jiwa yang tak pernah dibebaskan.

Warga sekitar tahu keberadaan mereka. Kadang datang membawa sembako, doa, atau sekadar simpati. Tapi semua itu seperti angin malam—menyapa sebentar lalu pergi tanpa jejak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup