Ragam

“Nasu Konro” Usai Kurban: Jejak Tulang, Jejak Tradisi di Sidrap, Soppeng, Wajo, Parepare, Enrekang, hingga Pinrang

Nasu Konro

Katasulsel.com, Pinrang — Tak ada yang lebih khas dari aroma daging rebus dan rempah setelah Idul Adha di Sulawesi Selatan. Di Sidrap, Soppeng, Wajo, Parepare, Enrekang, hingga Pinrang—ada satu nama yang selalu muncul dari dapur warga: Nasu Konro.

Makanan ini bukan cuma sajian. Ia adalah tradisi. Setelah pemotongan hewan kurban, tulang-tulang rusuk yang mengandung daging empuk itu tidak dibuang. Mereka justru jadi bintang utama. Direbus berjam-jam dalam kuah hitam pekat. Dibalut keluak, ketumbar, cengkeh, kayu manis, dan ketulusan hati.

Di Sidrap, dapur warga desa hingga restoran di jantung Pangkajene ramai-ramai menyuguhkan konro sebagai menu utama setelah kurban. Konro bukan cuma soal rasa, tapi simbol syukur atas rezeki yang dibagikan.

Di Soppeng, kota kelelawar itu, konro hadir di tiap sudut. Dari warung kecil di Watansoppeng hingga rumah-rumah adat yang menghidangkannya untuk para tamu yang datang bertakziah atau bersilaturahmi pasca kurban.

Wajo tak mau ketinggalan. Di Sengkang dan sekitarnya, konro disajikan bersama burasa, atau dipadukan dengan konro bakar versi modern. Daging kurban tak pernah tersia. Semua bagian dimuliakan, termasuk iga.

Enrekang, tanah dingin yang biasa dengan daging segar dari pegunungan, juga tak absen. Konro menjadi menu favorit keluarga—dibumbui lebih pedas, khas warga Enrekang yang menyukai tantangan di lidah.

Di Parepare, kota kelahiran BJ Habibie, konro menjadi menu pemersatu. Di rumah-rumah, di pesta kecil, di warung kopi. Bahkan di gang-gang dekat pelabuhan, aroma konro bisa menuntun siapa saja yang sedang lapar dan rindu rumah.

Pinrang, kabupaten di barat yang dikenal akan sawah dan lautnya, juga punya gaya konro tersendiri. Dengan tambahan sambal kacang atau jeruk nipis, konro jadi makin menggoda.

Satu makanan, seribu makna.

Dari tulang-tulang kurban, warga Sulsel membangun rasa persaudaraan. Bukan sekadar mengenyangkan perut, tapi menguatkan ikatan. Nasu Konro hadir di meja makan, membawa serta hangatnya kebersamaan dan syukur.

Karena di tanah ini, kurban bukan cuma soal memberi. Tapi juga tentang bagaimana menikmati rezeki bersama, dengan cara yang lezat dan penuh nilai.

Dan di setiap sendok kuah konro yang kita seruput—ada cinta. Ada tradisi. Ada Sulawesi Selatan… (*)

Laporan: Darwis Lenggang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
Exit mobile version