Logo Katasulsel
🔊 Klik untuk dengar suara
Logo Overlay
đź”´ Tiga Tahun Cinta Hancur dalam Sehari, Dia Kabur Patah Hati, Lalu Sang CEO Muncul đź”´ Kat-Tv dan Katasulsel.com Membutuhkan Jurnalis, Silakan Hubungi 082348981986 (Whatsapp) đź”´

Sumur Kelima Tobulelle, Terima Kasih Kodim 1406/Wajo

Sumur Kelima Tobulelle, Terima Kasih Kodim 1406/Wajo

Air bersih itu bukan mimpi. Bukan pula sekadar hak di atas kertas. Di Dusun Tobulelle, sebuah titik kecil di peta Wajo, Sulawesi Selatan, air bersih adalah kenyataan yang baru saja datang—diam-diam, tapi penuh makna.

Laporan: Edy Basri

Ini. Saya menyebutnya: revolusi sunyi dari sumur kelima.

Sumur bor itu bukan monumen. Ia tak tinggi menjulang, tak berornamen mewah. Tapi dari lubangnya yang gelap dan dalam, kini keluar harapan.

Mengalir ke pipa-pipa PVC, meneteskan perubahan ke ember-ember warga, ke dapur, ke kamar mandi, ke kebun-kebun kecil yang dulu kering dan keras seperti hati birokrat pusat.

Yang membuat sumur itu istimewa adalah siapa yang menggali. Bukan kontraktor bertanda tangan pejabat.

Bukan juga tender miliaran yang biasa mampir di meja kopi Jakarta. Tapi TNI—lebih tepatnya, TMMD ke-124 yang dihelat Kodim 1406/Wajo. Sumur kelima ini adalah ujung tombak program itu di Dusun Tobulelle.

Saya mencatat satu hal penting di sini: air bersih bukan cuma urusan teknis. Ia adalah persoalan martabat.

banner 300x600

Dulu, ibu-ibu di Tobulelle harus bangun sebelum ayam, membawa jerigen, meniti jalan tanah sejauh 2–3 kilometer. Bukan untuk berdagang, bukan mencari nafkah, hanya untuk mendapatkan air bersih.

Itu pun kalau musim tidak sedang kemarau panjang. Sekarang, cukup membuka keran di pekarangan. Bahkan anak-anak bisa mencuci tangan tanpa disuruh—karena air ada, bukan lagi barang langka.

Letda Arh Abdul Azis, Komandan SSK TMMD yang memimpin langsung pengerjaan, tak banyak bicara soal prestasi.

Ia lebih senang menunjukkan bagaimana pipa-pipa itu dipasang, bagaimana pengecoran berlangsung, bagaimana warga dilibatkan. Dalam bahasa sederhananya:

“Kalau cuma bangun, kita bisa. Tapi kalau bisa membangun dan menyatukan, itu baru TNI.”

Saya terdiam.

Ada hal lain yang sedang dibangun di Tobulelle: kepercayaan. Dalam dunia yang makin sinis, kepercayaan adalah barang mahal.

Tapi justru di dusun terpencil ini, ia sedang tumbuh: antara TNI dan warga, antara negara dan rakyatnya.

Letkol Inf Wahyu Yunus, Komandan Kodim 1406/Wajo, menyebut TMMD sebagai jembatan sosial.

“Ini bukan proyek, ini proses,” katanya.

Saya percaya. Karena ia tidak sedang menjual program, tapi menanam hubungan jangka panjang.

Tobulelle kini punya wajah baru.
Bukan wajah beton atau cat baru. Tapi wajah yang lebih percaya diri. Karena air mengalir, karena negara hadir.

Karena desa tidak harus selalu menunggu giliran. Karena pembangunan bisa dimulai dari hal sederhana: sumur.

Dan sumur itu tidak hanya mengalirkan air, tapi mengubah cara berpikir.

Ibu-ibu punya waktu lebih untuk mendidik, bukan mengangkut.
Anak-anak bisa belajar tanpa gangguan logistik.

Bahkan bapak-bapak mulai berpikir tentang bagaimana air bisa dimanfaatkan lebih jauh: untuk kebun, untuk usaha kecil, untuk ketahanan pangan dusun.

Kisah dari Tobulelle adalah tamparan halus untuk mereka yang sibuk dengan “program strategis nasional” tapi lupa bahwa air minum saja masih harus dipikul di banyak dusun.

Bahwa kadang, revolusi dimulai bukan dari meja-meja kantor pusat, tetapi dari sumur kecil yang digali oleh tangan berseragam loreng.
Tanpa seremoni, tanpa viral, tanpa riuh.

Hanya dengan satu suara lirih:

“Airnya sudah keluar, Pak.”

Dan suara itu, saya pikir, jauh lebih penting dari ribuan pidato pembangunan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup