Yang Dicuri Pria di Lamongan Memang Burung, Tapi Ceritanya Mencuri Hati Kita Semua
Angin kering berhembus pelan di Desa Slaharwotan siang itu. Tapi bukan angin yang membuat dada terasa sesak.
Oleh: Tipue S
S (35), lelaki dari desa itu, duduk tertunduk di Mapolres Lamongan. Wajahnya kusut. Tidak hanya karena baju tahanan. Tapi karena di benaknya hanya satu: Tika, istrinya, yang sedang hamil delapan bulan. Di rumah. Tanpa air bersih. Tanpa biaya persalinan.
Dan dia di sini. Ditangkap. Karena hendak mencuri seekor burung murai batu.
Ya, hanya seekor burung. Tapi cukup mahal untuk membayar bidan.
Warga Desa Moropelang, Babat, tak sempat bertanya dulu. Mereka langsung mengepung. Ada yang hendak memukul, ada yang ingin mengikat. Untung, polisi datang lebih cepat dari amarah warga.
Saat ditanya alasannya mencuri, S hanya diam. Lama. Lalu air matanya jatuh. Laki-laki itu menangis seperti anak kecil. Bukan karena takut penjara. Tapi karena ia merasa gagal menjadi suami. Gagal menjadi calon ayah.
Kisah ini semula nyaris tenggelam. Hanya jadi berita kriminal biasa. Tapi seorang jurnalis, Akhmad Sriyono, atau yang akrab disapa Yoyon, memilih untuk tidak menulis seperti biasa.

Ia pergi ke rumah S. Menyusuri jalan tanah, menyeberangi sungai, dan akhirnya sampai di sebuah rumah kecil. Tanpa kamar mandi. Tanpa sumur. Bahkan atapnya bocor.
βSaya kaget. Di dalam rumah hanya ada satu dipan reot. Tika duduk di lantai, memegangi perutnya yang besar,β kata Yoyon, matanya merah saat menceritakan ulang.
Tika berbicara lirih. Seperti menahan tangis. Tapi tangisnya menetes juga ketika ia bicara tentang masa depan bayinya.
Bersambung…
“Mas, saya cuma ingin suami saya bisa menemani saya saat melahirkan. Tapi uangnya belum ada. Dan saya takut sendirian.”
Yoyon tak bisa menahan diri. Ia langsung menulis, bukan sekadar berita, tapi ajakan. Kepada sesama jurnalis. Kepada siapa saja yang masih percaya bahwa kemanusiaan lebih penting dari sekadar hukum hitam putih.
Dan mereka datang. Donasi mulai terkumpul. Bukan hanya uang. Ada yang menyumbang sumur bor. Ada yang mengirim perlengkapan bayi. Ada pula yang bersedia jadi pendamping hukum bagi S, agar ia tak dihukum terlalu berat.
Tapi yang paling membuat Tika terharu: seorang bidan dari Babat bersedia menangani persalinannya, gratis. Bahkan siap menjemput jika tiba waktunya melahirkan.
Hari ini, S masih di tahanan. Tapi ia sudah tahu kabar itu. Dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum. Tipis. Tapi jelas. Senyum yang datang bukan dari lelucon, tapi dari harapan.
Ia mungkin mencuri. Tapi ia tidak jahat. Ia hanya ayah yang takut anaknya lahir dalam dunia yang terlalu kejam.
Tuhan mungkin tidak langsung mengubah nasib. Tapi Tuhan kadang menyisipkan kisah-kisah begini, agar kita ingat: kemiskinan bukan pilihan. Dan cinta seorang suami, kadang lewat jalan yang salah, tetaplah cinta yang tulus.
Murai batu itu tidak sempat ia ambil. Tapi kisahnya, telah terbang tinggi. Membuat kita menunduk. Lalu bertanya dalam hati: “Sudah seberapa jauh kita lupa jadi manusia?”
π’ Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
π Klik di sini & tekan Ikuti