Katasulsel.com

Portal berita terpercaya yang mengulas Indonesia dari jantung Sulawesi Selatan. Aktual, tajam, dan penuh makna.

Makassar

Dinas-Dinas Jangan Tidur, Uang Negara ‘Terbakar’ di Soppeng

Makassar, Katasulsel.com – Rokok tanpa pita cukai merek Konser kini beredar bebas di berbagai warung dan kios kecil di Kabupaten Soppeng. Tak ada selubung. Tak ada penyamaran. Penjualan dilakukan secara terang-terangan—seolah hukum telah kehilangan daya gigit.

Padahal, barang yang diperjualbelikan itu jelas-jelas ilegal. Ia melanggar Undang-Undang Cukai Nomor 39 Tahun 2007. Namun, hingga saat ini, tidak ada satu pun langkah korektif yang tampak dari jajaran Pemerintah Kabupaten Soppeng. Diam. Seperti membiarkan api menyala di dalam rumah.

Harga jualnya sekitar Rp18.000 per bungkus, berisi 20 batang. Tak ada pita cukai, tak ada peringatan kesehatan yang sah, dan tak terdeteksi jalur distribusinya. Rokok ini hadir sebagai produk yang lepas dari pengawasan, tapi masuk dalam peredaran publik.

Kehadirannya membuka lubang besar pada penerimaan negara dari sektor cukai. Perhitungannya sederhana: satu batang rokok ilegal bisa menyebabkan kerugian negara sekitar Rp300. Maka satu bungkus Konser berarti sekitar Rp6.000 hilang dari kas negara.

Jika hanya 10.000 bungkus beredar di Soppeng setiap bulan, maka kerugian negara bisa menyentuh angka Rp60 juta per bulan, atau Rp720 juta per tahun—dan itu hanya dari satu merek, di satu kabupaten kecil.

Sayangnya, angka ini belum cukup membangunkan dinas-dinas teknis di lingkup Pemkab Soppeng. Dinas Perdagangan, Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian, hingga Satpol PP, semua masih terpantau dalam mode diam. Tidak ada operasi pasar. Tidak ada inspeksi mendadak.

Bahkan, tidak ada pernyataan publik yang bisa menjelaskan kenapa barang ilegal ini bisa melenggang begitu mudahnya di tengah masyarakat.

Terpisah, Direktur Eksekutif Forum Sipil Anti Rokok Ilegal (FOSARI), Ramli Saleh di Makasar menyatakan, sikap diam itu berbahaya. Pemerintah daerah seharusnya jadi garda depan dalam penertiban. Kalau seperti ini, bisa dikatakan mereka secara tak langsung mengamini pelanggaran fiskal negara.

Peredaran rokok ilegal, tegasnya, bukan hanya menggerus kas negara, tetapi juga melemahkan program perlindungan konsumen dan program pelayanan publik di daerah. Ia menyinggung Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang berpotensi hilang akibat peredaran produk non-cukai tersebut.

“Setiap batang rokok ilegal yang laku dijual, itu adalah uang daerah yang tidak akan pernah kembali ke daerah,” ujarnya kepada Katasulsel.com, Senin, 16 Juni 2025.

Kekhawatiran FOSARI juga sejalan dengan suara dari sejumlah pegiat masyarakat sipil lainnya di Soppeng.

Mereka menilai, jika tidak segera diatasi, Soppeng bisa menjadi simpul utama distribusi rokok ilegal di wilayah Ajatappareng. Hal itu diperkuat dengan pola distribusi yang, menurut pemantauan mereka, sudah berlangsung secara sistematis dan berulang.

Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, fenomena ini merupakan sinyal lemahnya sistem pengawasan di daerah. Ketika mekanisme pengendalian tidak bekerja, dan pelanggaran dibiarkan berjalan tanpa hambatan, maka bukan hanya hukum yang dilecehkan, tapi juga kepercayaan publik pada institusi pemerintah.

Pemkab Soppeng didesak untuk tidak hanya mengamati, tetapi bertindak. Tidak cukup hanya membuat surat edaran atau himbauan. Yang dibutuhkan adalah penindakan nyata: pengawasan lapangan, kerja lintas dinas, dan keterlibatan aktif dalam menutup jalur distribusi ilegal ini.

Sebab, dalam konteks kebijakan fiskal nasional dan perlindungan masyarakat, sikap diam bukan netral. Diam adalah kelalaian. Atau lebih buruk: pembiaran sistematis.

Laporan: Tim Investigasi Katasulsel.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
Exit mobile version