Logo Katasulsel
πŸ”Š Klik untuk dengar suara
Logo Overlay
πŸ”΄ Tiga Tahun Cinta Hancur dalam Sehari, Dia Kabur Patah Hati, Lalu Sang CEO Muncul πŸ”΄ Kat-Tv dan Katasulsel.com Membutuhkan Jurnalis, Silakan Hubungi 082348981986 (Whatsapp) πŸ”΄

Bangga Jadi Anak Sidrap

Edy Basri

Ada kalimat bijak dalam sebuah jurnal akademik:
β€œCapaian adalah hasil dari kontinuitas, bukan keberuntungan.”

Oleh: Edy Basri

YA. Saya percaya itu.
Karena saya mengalaminya sendiri. Ini cerita saya. Kisah-ku.

Tak ada yang instan.
Termasuk menjadi jurnalis dari kampung
yang akhirnya bisa dikenal secara nasional.
Duduk di podium forum besar.
Dikenal karena karya.

Bukan karena viral,
tapi karena konsistensi epistemologisβ€”
yakni kesetiaan terhadap proses berfikir dan berkarya secara berkelanjutan.

Saya bukan siapa-siapa.
Tapi saya punya siapa: Sidrap.
Tanah kelahiran.
Tanah yang mengajarkan saya arti kerja keras dan konsistensi.
Bahwa ilmu dan pengalaman harus terus dikembangkan, bukan disimpan.

Ketika saya diminta menjadi pimpinan sidang di Mubeslub Ikatan Wartawan Online (IWO) Pusat, Jakarta, Oktober 2023 lalu, hati saya campur aduk.
Antara bangga dan tegang.

Tapi saya sadar: ini bukan tentang saya pribadi.
Ini tentang representasi anak kampung, anak daerah.
Tentang Sidrap yang bisa berbicara di panggung nasional.
Dalam forum yang dihuni banyak tokoh pers digital Indonesia.

Saya merasa,
daerah tak pernah menjadi kendalaβ€”
asalkan punya kelilmuan, punya integritas.

banner 300x600

Lalu datang momen lain.
6 Desember 2023.
Saya diundang ke Mabesad Jakarta.

Bukan untuk liputan.
Tapi untuk menerima penghargaan nasional.
Juara III Lomba Karya Jurnalistik TMMD TA 2023.
Kategori feature media online.

Kala itu, saya tidak hanya mewakili Kodim 1420/Sidrap,
tapi juga Korem, bahkan Kodam di Sulawesi Selatan

Bersambung…

Saya?
Yang menulis dari ruang kecil di Sidrap?
Ternyata bisa juga bersaing dan duduk di antara jenderal-jenderal TNI
di Aula Mabesad, Jakarta.

Saya sadar,
menulis itu bukan sekadar menyusun kalimat.
Tapi menyusun makna.
Dan ketika makna itu menyentuh,
di situlah jurnalistik berubah menjadi public education.

Saya bangga,
karena berita dari daerah bisa menyentuh juri-juri nasional.
Bahwa Sidrap pun punya cerita.
Punya daya.

Namun, di antara semua pencapaian,
saya selalu pulang pada keluarga.

Kebanggaan ketiga saya justru datang dari rumah.
Poufy Annisa Silu, anak sulung saya.
Telah menyelesaikan studi S.1 Ilmu Komunikasi.

Ini bukan hanya tentang ijazah, atau hanya S.1.
Tapi tentang proses intergenerasionalβ€”
bagaimana satu generasi berhasil menyelesaikan fase akademiknya,
dan siap menghadapi dunia nyata.

Sebagai ayah yang hanya seorang jurnalis,
saya diam-diam menangis waktu itu.
Bukan karena sedih.
Tapi karena bangga bercampur lega.

Lalu, ada satu gelar yang tak bisa dibeli:
Wartawan Utama.

Tahun 2018, saya menyandangnya.
Dari Dewan Pers, lembaga resmi negara.
Dan hingga Juni 2025,
saya masih satu-satunya jurnalis di Kabupaten Sidrap
yang memegang gelar tersebut.

Dan yang bikin saya bangga sendiri,
saya lulus dan seangkatan dengan Pimpinan Redaksi saya kala itu. Pak Arsyad Hakim namanya
Saya sadar, ini pencapaian. Tak mudah.
Apalagi, hanya seorang anak buah, reporter di daerah-di Sidrap.

Apakah itu penting?
Sangat.

Dalam terminologi jurnalisme profesional,
tingkatan UKW adalah bentuk verifikasi etik dan kompetensi.
Bukan formalitas.
Tapi legitimation of trustβ€”pengesahan kepercayaan publik.

Bersambung…

Saya menjaganya baik-baik.
Bukan karena prestise.
Tapi karena tanggung jawab.
Bahwa kata-kata yang saya tulis harus dapat dipertanggungjawabkan,
secara etika maupun hukum.

Lima? Belum.
Ada yang keenam.

Sesuatu yang dulu hanya mimpi,
kini jadi realita:
Saya diangkat sebagai pengajar.

Di sebuah perguruan tinggi ilmu hukum di Ajatappareng.

Saya, yang dulu hanya menulis berita sidang di pengadilan,
kini berdiri menjelaskan teori positivisme hukum kepada mahasiswa.

Saya tahu,
bukan jabatan yang membuat seseorang penting.
Tapi kontribusi.
Dan saya ingin menyumbang satu hal:
wawasan.

Karena saya percaya,
praktisi harus masuk kampus.
Agar ilmu tidak hanya tekstual,
tapi juga kontekstual.

Terakhir,
saya ingin kembali pada awal.

Saya pernah jadi wartawan Harian FAJAR.
Media raksasa di Sulawesi Selatan.

Di sana saya belajar,
bahwa berita bukan soal siapa cepat,
tapi siapa tepat.
Dan benar.

Bersambung..

Saya mungkin bukan lagi di halaman pertama koran,
tapi saya tetap di halaman utama kehidupan saya.

Sebanarnya masih banyak hal prestisius yang pernah saya capai.

Namun, enam hal ini cukup menggambarkan dan mengobati kerinduan saya kembali menulis.

Satu hal, semua di atas tidak saya sebut untuk menyombongkan diri.
Saya menuliskannya hanya untuk satu tujuan:
bersyukur.

Bahwa perjalanan saya,
yang penuh lika-liku,
ternyata tidak sia-sia.

Dan bahwa dari Sidrap,
dunia bisa dilihat.
Dan dirangkul.

Dengan pena.
Dengan nalar.
Dengan hati.
(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup