Suara Lembut, Isi Menggelegar: Soetarmi di Tengah Seminar Hukum UIN Alauddin Makassar
Ada seorang jaksa yang tak seperti jaksa pada umumnya dari Sulawesi Selatan. Dia adalah: Soetarmi.,S.H.,M.H.
Laporan: Edy Basri
Sejenak. Lelaki ini biasa-biasa saja. Namun, tegas serta lugas. Tapi, kalau bicara hukum, ia seperti dosen yang sedang menelanjangi kitab hukum pidana dengan mata elang.
Ia datang ke Auditorium UIN Alauddin Makassar, Selasa itu, bukan sebagai jaksa penuntut. Tapi sebagai narasumber seminar.
Seminar bertema berat: Revisi RUU KUHAP: Sebuah Urgensi Nasional dalam Mewujudkan Keadilan.
Mahasiswa ramai. Dosen hadir. Narasumber lain datang. Tapi, Soetarmi mencuri perhatian. Ucapannya pendek-pendek. Tapi isinya dalam. Dan mengandung gelegar.
“Restorative Justice bukan hanya soal penyelesaian perkara. Ini adalah cara baru negara menghadirkan keadilan yang lebih manusiawi, adil, dan bermartabat,” katanya sambil menatap ke arah para mahasiswa yang duduk terpaku di barisan tengah.
Kata-katanya bukan sekadar jargon. Ia berbicara dari dalam sistem. Dari ruang-ruang gelap penyidikan. Dari lorong-lorong sunyi perkara. Dari kursi panas di ruang sidang.
Ia tahu betul bahwa hukum di Indonesia masih banyak pincangnya. Bahwa KUHAP yang sejak 1981 tak pernah direvisi serius, kini sudah terlalu renta untuk menjawab tantangan zaman.

Bahwa prinsip due process of law kadang tenggelam di balik ego institusi.
Bahwa asas equality before the law terlalu sering dipermainkan oleh kekuasaan dan koneksi.
Dan bahwa fair trial kadang hanya utopia di lembaran buku teks hukum pidana.
Soetarmi bukan lulusan asing. Tapi pikirannya melampaui sekat-sekat konservatisme hukum. Ia bicara tentang diversi, tentang dekriminalisasi, dan tentang perlunya peran dominus litis jaksa ditegaskan dalam revisi KUHAP.
“Jaksa itu bukan sekadar pelengkap. Dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), jaksa adalah sutradara. Dialah yang memegang kendali perkara. Maka, keadilan restoratif harus dibangun dengan menjadikan jaksa sebagai pilar utama,” ujarnya.
Mahasiswa mengangguk. Beberapa mencatat. Sebagian lagi memotret dengan ponsel.
Seminar itu dibuka oleh Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. H. Abd Rauf Muhammad Amin. Ia berharap mahasiswa tak hanya menelan teori hukum dari buku. Tapi juga merasakan denyutnya dari narasumber-narasumber yang berkecimpung langsung di dunia praktik.
Ada pula Dr. Syamsu Rizal Marzuki dari Komisi I DPR RI. Ia bicara panjang lebar tentang tantangan era digital, tentang penyadapan cloud, dan pentingnya perlindungan terhadap tersangka dan korban.
Ada Dr. Tadjuddin Rachman dari Dewan Kehormatan Peradi. Ia mengingatkan bahwa setiap produk hukum baru harus disertai infrastruktur penegakan hukum yang memadai.
Ada Dr. Heriyanto dari Polda Sulsel. Ia membedah teori Howard Zehr tentang restorative justice versus criminal justice.
Tapi Soetarmi tetap beda.
Ia tak sekadar mengutip. Ia menyusupkan nurani ke dalam pidatonya. Ia bicara dari luka yang tak terlihat. Dari putusan-putusan yang kadang terasa ganjil. Dari pengaduan masyarakat yang seringkali berujung pada kekecewaan.
Soetarmi adalah gambaran jaksa baru. Jaksa yang tak sekadar pandai menuntut. Tapi juga mendengar. Menimbang. Memulihkan.
Dalam dunia pendidikan hukum, narasi-narasi seperti Soetarmi inilah yang langka. Ia membawa roh andragogi, bukan hanya pedagogi. Ia memperlakukan mahasiswa sebagai mitra diskusi, bukan objek ceramah.
Ia hadir sebagai reflective practitioner. Bukan dogmatis legalis.
Ia menjelaskan bahwa revisi RUU KUHAP tak boleh hanya mengganti pasal. Tapi harus menjawab kebutuhan zaman. Menjawab ketimpangan. Menjawab krisis kepercayaan terhadap hukum.
Jaksa seperti Soetarmi adalah barang langka. Ia bisa saja memilih duduk nyaman di balik meja, menandatangani berkas demi berkas.
Tapi hari itu, ia memilih berdiri di depan mahasiswa. Membuka ruang berpikir. Dan diam-diam, mengubah wajah hukum itu sendiri.
Ia datang bukan membawa palu. Tapi membawa harapan.
Dan di tengah rimba belantara sistem peradilan pidana yang penuh lorong kelam, Soetarmi menyalakan lentera kecil. Yang cahayanya mungkin tak langsung terang.
Tapi cukup untuk membuat kita tahu:
Bahwa keadilan masih bisa diperjuangkan.
Dan di hadapan forum, ia tak bersuara lantang. Tapi setiap kalimatnya menggedor nalar. Dalam seminar revisi RUU KUHAP itu, Soetarmi tidak sedang memamerkan logika hukum, tetapi justru memperlihatkan ius constituendum—hukum yang seharusnya.
Ia bicara soal Rekonstruksi Hukum Acara Pidana. Tentang pentingnya ruang pemulihan dalam sistem hukum—bukan sekadar penghukuman. Di tangannya, Restoratif Justice bukan lagi jargon, tapi jalan sunyi yang ia lalui sendiri di banyak kasus pidana ringan. Anak-anak, nelayan, petani—semuanya ia dekati bukan sebagai tersangka, tapi sebagai manusia.
Ketika moderator membuka sesi tanya jawab, beberapa mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum tampak tergugah. Salah satunya bertanya:
“Pak Jaksa, kenapa hukum kita selalu terasa berat ke bawah dan ringan ke atas?”
Soetarmi tersenyum. Ringan. Tapi jawabannya menggugah.
“Karena keadilan bukan soal aturan. Tapi siapa yang memegang aturannya.”
Jawaban itu membuat ruang seminar sunyi sejenak. Lalu riuh oleh tepuk tangan.
Hari itu belum selesai ketika kabar dari pusat datang.
Surat bernomor B-3063/K.Pkh.3/05/2025 dari Kejaksaan Agung RI tiba di meja Kejati seluruh Indonesia. Isinya: permintaan agar mengusulkan nama-nama jaksa terbaik untuk mengikuti Adhyaksa Award 2025.
Ada tujuh kategori.
Dan setidaknya tiga di antaranya seperti menggambarkan Soetarmi:
Jaksa Penegak Keadilan Restoratif
Jaksa Kreatif dalam Edukasi Hukum
Jaksa Inovatif dalam Penegakan Hukum
Ia tak tahu apakah akan diusulkan. Ia juga tak peduli apakah kelak akan menang. Tapi surat itu seperti pujian sunyi untuk jalan panjang yang telah ia tempuh selama ini.
Di kantor, seorang staf kejaksaan tinggi berkata lirih, “Pak Soetarmi harus diusulkan. Beliau tidak sekadar menegakkan hukum—beliau membangun nalar hukum dari bawah.”
Dan benar. Ia tidak hanya menjatuhkan tuntutan, tapi juga menanam benih hukum. Di desa. Di sekolah. Di ruang tahanan. Di hati yang luka.
Tak banyak yang tahu, sebagian materi seminar yang ia sampaikan di UIN Alauddin adalah ringkasan hasil evaluasi lapangan yang ia kumpulkan sendiri. Termasuk data empiris dari penerapan Diversi dan RJ (Restorative Justice) di wilayah-wilayah terpencil.
Di akhir seminar, ia pamit dengan tenang. Menyimpan semua makalah dalam map lusuh warna coklat. Seseorang dari panitia menyodorkan sertifikat. Ia menerimanya sopan, tanpa ekspresi.
Soetarmi tidak butuh panggung.
Tapi panggung itu—barangkali—sedang menuju ke arahnya.
Lewat Adhyaksa Award 2025.
Lewat pengakuan diam dari sistem yang sedang ia rawat pelan-pelan: sistem yang menjadikan hukum bukan cambuk, tapi cahaya. (*)
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti