FEATURE | Petani, Panglima, dan Pj Sekda Barru: Sinergi Sunyi Menjaga Pangan Negeri
Reporter: Asridal — Barru
Pagi itu, di Baruga Singkerru Ada’e, rumah jabatan Bupati Barru, udara bukan hanya mengandung kelembapan biasa.
Ia membawa aroma serius, penuh pesan politik, teknokratis, sekaligus emosional. Kamis, 19 Juni 2025, bukan sekadar tanggal di kalender.
Dia menjadi tanda bahwa Kabupaten Barru tidak sedang menunggu perintah, tapi mengambil posisi strategis dalam lanskap besar ketahanan pangan nasional.
Di ruang itu, di antara perwira tinggi TNI, pejabat pusat, dan deretan kepala OPD, ada satu sosok yang tidak berdiri sebagai penggembira birokrasi.
Ia justru tampil sebagai juru bicara akar rumput. Dialah Abu Bakar, Penjabat Sekretaris Daerah Kabupaten atau (Pj. Sekda) Barru. Ucapannya tenang, tapi menyentuh.
Kalimat-kalimatnya seperti mata bajak yang membelah tanah: dalam, presisi, dan menyuburkan kesadaran.
“Kehadiran Jenderal Wawan adalah kehormatan dan motivasi bagi kami. Program optimalisasi lahan ini bukan hanya menyentuh tanah, tapi juga menyentuh hati dan harapan petani Barru,” katanya.
Dan dari situ, saya yang baru beberapa hari bergabung di katasulsel.com, menyimak setiap kata yang disampaikan, narasi panjang ketahanan pangan di Barru pun mengalir

Abu Bakar tak sekadar menyambut kedatangan Satgas Optimalisasi Lahan Pertanian Wilayah Sulawesi sebagai protokoler daerah.
Ia menjadikan pertemuan itu sebagai platform untuk menyampaikan filosofi lokal dan visi makro pembangunan pangan.
Dalam pandangannya, pertanian bukan sebatas sektor. Ia adalah struktur epistemik dan sistem kehidupan—sebuah living system yang harus dijaga dengan pendekatan interdisciplinary governance.
Petani bukan objek program, melainkan aktor epistemologis dari ekosistem agraria itu sendiri.
Dalam kapasitasnya sebagai Pj Sekda, Abu Bakar menempatkan kebijakan pertanian Barru sebagai bentuk nyata dari agrarian rationality—yakni cara berpikir strategis dalam mengelola sumber daya berbasis keterpaduan ekologi, sosial dan ekonomi.
Ia menegaskan bahwa 9.398 hektare lahan telah ditetapkan sebagai LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), dari total 15.730 hektare sawah di Barru.
Angka ini bukan hanya statistik, tapi cerminan komitmen terhadap land preservation policy, sebuah langkah yang dalam banyak daerah gagal karena tarik-menarik antara kepentingan investasi dan keberlanjutan pangan.
Bersambung…
“Pemkab sangat selektif dalam menerbitkan izin alih fungsi lahan. Kami tidak ingin tergelincir pada jebakan spatial commodification, di mana tanah hanya dilihat sebagai objek ekonomi, bukan ruang kehidupan,” ujar Abu Bakar.
Kalimat itu menggambarkan bahwa di tengah tekanan pertumbuhan ekonomi dan tuntutan pembangunan infrastruktur, Barru memilih bertahan pada garis etis pembangunan.
Sebuah pilihan yang dalam istilah ekonomi disebut sebagai ecological constraint approach—yakni kebijakan pembangunan yang mempertimbangkan daya dukung dan keberlanjutan ekosistem agraria.
Tapi Abu Bakar tidak berhenti pada struktur makro. Ia masuk ke jantung masalah: harga gabah. Ia menyambut baik kebijakan pemerintah pusat yang menetapkan harga dasar gabah minimal Rp6.500 per kilogram.
Baginya, ini bukan sekadar intervensi harga, tapi bentuk price justice—keadilan harga yang bisa menjaga moral economy petani.
“Sebagai anak petani, saya tahu betul arti dari harga yang berpihak. Ia menghidupkan kembali semangat, bahkan harapan,” ucapnya.
Suaranya sedikit bergetar, bukan karena lelah, tapi karena kenangan masa kecil yang barangkali tumbuh dari suara lesung dan aroma gabah basah.
Tak hanya soal harga dan lahan, Abu Bakar juga menyinggung soal akurasi data tanam. Ia menyebut bahwa disiplin pelaporan sebelum pukul 16.00 setiap hari sangat krusial.
“Kita tidak bisa berbicara program besar tanpa didukung oleh reliable data structure. Pelaporan real-time adalah fondasi dari evidence-based agriculture policy,” katanya.
Pernyataan itu menyentil persoalan klasik birokrasi agraria: inkonsistensi data. Abu Bakar memahami bahwa policy coherence antara data lapangan dan pengambilan keputusan di pusat hanya bisa terjadi jika setiap petugas, dari Babinsa hingga penyuluh, berada pada satu garis integritas.
Dialog yang mengalir setelah sambutan berlangsung hangat. Para penyuluh, Babinsa, hingga stakeholder dunia usaha menyuarakan fakta lapangan, membuka ruang deliberatif yang mencerminkan semangat participatory governance.
Bersambung…
Brigjen TNI Wawan Erawan merespons dengan tenang. Lima penekanan strategis yang ia sampaikan mengalir sebagai respons terhadap dinamika tersebut: larangan alih fungsi lahan, percepatan tanam, jaminan harga, penguatan kelembagaan, dan distribusi pupuk yang adil.
Kunjungan kerja itu bukan hanya berhenti di aula. Rombongan meluncur ke Dusun Pao, Desa Lipukasi, Kecamatan Tanete Rilau. Di sana, lahan-lahan yang selama ini tidur perlahan digarap, dirawat, dan disulap menjadi ruang produktif.
Di tengah hamparan padi dan bau tanah yang baru dibalik, Abu Bakar berdiri di antara petani dan TNI. Ia tidak tampak seperti pejabat, melainkan bagian dari komunitas yang ia wakili.
Dan ketika seseorang bertanya kenapa ia begitu peduli, jawabnya sederhana, “Kalau lahan adalah napas, maka petani adalah jantungnya. Kita semua punya tanggung jawab agar keduanya tetap hidup.”
Maka jelaslah, dalam suasana global yang dihantui ancaman krisis pangan, Kabupaten Barru melalui Abu Bakar memilih peran bukan sebagai penonton, tetapi sebagai bagian dari panggung utama. Dalam dirinya, birokrasi bukan mesin administratif.
Ia menjadi organic leadership—kepemimpinan yang tumbuh dari tanah, meresap dalam nadi rakyat, dan bergerak bersama harapan petani.
Sebuah gaya baru dalam tata kelola ketahanan pangan yang bukan hanya mengandalkan perangkat negara, tapi juga kedalaman hati dan kekuatan narasi. (*)
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti