Jakarta, katasulsel.com — Retorika geopolitik di Timur Tengah kembali memanas. Iran, melalui sejumlah kanal medianya, mengirimkan sinyal keras ke Amerika Serikat (AS): jika agresi terus berlanjut, 50.000 pasukan AS bisa menjadi sasaran. Teheran menyebut konflik ini sebagai “gerbang neraka” yang siap terbuka kapan saja.
Pernyataan itu muncul pasca tewasnya sejumlah warga AS dalam sebuah serangan udara di wilayah konflik yang diklaim dipengaruhi oleh kelompok yang dekat dengan Iran. Meski belum ada konfirmasi resmi dari pemerintah Iran, suara-suara keras terus bermunculan dari elite militer dan media pro-pemerintah di Teheran.
Ancaman tersebut membawa kembali bayang-bayang konfrontasi besar. Iran diketahui telah memperkuat aliansi militernya di kawasan, termasuk dengan kelompok Hizbullah di Lebanon, milisi Houthi di Yaman, serta jaringan milisi Syiah di Irak dan Suriah. Di sisi lain, AS masih mempertahankan kehadiran militernya dengan kekuatan ribuan pasukan aktif, tersebar di pangkalan-pangkalan strategis Timur Tengah.
Sejumlah pengamat menilai pernyataan Iran sebagai bentuk perang psikologis. Sebuah strategi yang biasa digunakan dalam konflik asimetris, di mana satu pihak mencoba menanamkan ketakutan sebelum peluru pertama dilepaskan. Namun, retorika seperti ini juga berisiko menjadi pemicu bagi eskalasi nyata.
Dari Washington, belum ada tanggapan resmi yang menanggapi langsung ancaman tersebut. Namun Presiden Joe Biden telah beberapa kali menegaskan bahwa AS tidak akan tinggal diam jika kepentingan strategisnya atau sekutu-sekutunya terancam. Keberadaan kapal induk USS Dwight D. Eisenhower yang terus beroperasi di kawasan juga menjadi simbol kesiapan militer AS dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk.
Ancaman terhadap 50.000 tentara AS—meski tampak retoris—bukanlah ucapan yang bisa diabaikan begitu saja. Dunia kembali menahan napas di tengah ketegangan yang bisa berubah menjadi ledakan sewaktu-waktu. (*)
Editor: Harianto
Tidak ada komentar