Warga Sidrap Timur Senyum Bahagia, Jembatan Putus Kini Normal Lagi
Sidrap, Katasulsel.com — Jembatan itu bukan jembatan biasa.
Ia adalah urat nadi. Denyut hidup. Jalan pergi dan pulang bagi warga Bulu Cenrana dan Botto.
Tapi sempat ia mati.
Air bah 2024 membuatnya tak bisa lagi menyeberangkan harapan. Yang tersisa hanya bekas-bekas peradaban: tiang patah, kayu lapuk, dan luka yang panjang.
Hari ini, jembatan itu hidup kembali.
Senin, 23 Juni 2025.
Hari yang akan dikenang di Pitu Riawa sebagai penanda: bahwa kesabaran bisa menyeberangi musibah.
Andi Rahmat Saleh, Penjabat Sekda Sidrap, berdiri di ujung jembatan. Gunting di tangannya. Pita merah di hadapannya. Lalu, cekkkk… satu helai pita itu terputus.
Dan bersama itu, jembatan Bulu Cenrana terhubung kembali dengan denyut kehidupan.
Tentu, Andi Rahmat tak sendirian.
Di sekitarnya ada Abdul Rasyid dari Dinas Biciptapera. Sudarmin dari BPBD. Herwin dari Bapperida. Ada Camat Pitu Riawa, Ali Husain. Ada tokoh masyarakat, ibu-ibu PKK, dan yang tak kalah penting: wakil rakyat, Abdul Rahman.
Mereka semua tahu: ini bukan hanya soal jembatan.
Ini soal kepercayaan. Soal negara yang hadir. Soal pemerintah yang bukan hanya hadir saat kampanye, tapi juga saat banjir merendam segalanya—termasuk harapan.
Andi Rahmat, yang mewakili Bupati Sidrap, Syaharuddin Alrif, bicara lantang tapi tenang.
“Ini bukan jembatan kecil. Ini penghubung dua desa. Ini penggerak roda ekonomi. Ini pengantar anak sekolah. Ini jalur pulang petani. Ini urat nadi Pitu Riawa.”
Jembatan ini pernah lumpuh.
Tapi warga tak pernah benar-benar diam.
Mereka menyebrangi sungai dengan perahu kecil, pincara.
Itu tahap pertama: penyelamatan.
Tahap kedua datang di 2025. Anggaran turun. Jembatan diperbaiki. Masih bersifat sementara, memang. Tapi cukup untuk dilalui.
“Alhamdulillah,” kata Andi Rahmat, “Berkat sinergi banyak pihak, kita bisa bangun ini. Kami minta, mari dijaga. Dirawat. Agar tak sia-sia.”
Ada satu portal kecil di jembatan itu. Bukan sekadar besi dan rantai. Tapi simbol kesadaran kolektif.
“Ini permintaan warga,” kata Andi Rahmat.
Tujuannya jelas: jangan dilewati truk-truk besar. Struktur jembatan belum siap menerima beban seperti itu.
Regulasi bukan untuk mempersulit, tapi menyelamatkan.
Andi Rahmat tahu itu. Warga lebih tahu lagi. Sebab mereka yang akan menanggung akibatnya bila jembatan itu roboh lagi.
Tapi, kabar baik tak berhenti di situ.
Sidrap, lewat pemerintah kabupatennya, sudah mengusulkan pembangunan jembatan permanen. Bukan hanya kuat. Tapi tahan puluhan tahun.
Proposalnya sudah masuk ke kementerian.
“Kami yakin ini akan memperkuat konektivitas dan mempercepat gerak ekonomi warga,” ujar Andi.
Abdul Rahman, anggota DPRD yang ikut hadir, mengangkat suara.
Ia memuji ketepatan langkah Bupati dan timnya.
“Respons cepat beliau telah menjawab jeritan masyarakat. Terima kasih untuk keberpihakan ini,” katanya.
Lalu ia menutup dengan doa, “Semoga kepemimpinan Bapak Bupati membawa berkah dan kemajuan untuk Sidrap.”
Jembatan itu kini sunyi kembali. Tapi tidak mati.
Ia tak lagi sekadar bangunan, tapi simbol harapan.
Dulu, air memisahkan. Sekarang, jembatan menyatukan.
Dan di bawahnya, sungai tetap mengalir.
Seperti waktu.
Seperti perjuangan.
Seperti harapan yang tak pernah putus—meski sempat tenggelam.
Editor: Edy Basri / Reporter: Harianto
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan