Iran Serang Pangkalan Militer AS di Qatar, Putin dan China Turun Tangan

Iran Serang Pangkalan Militer AS di Qatar, Putin dan China Turun Tangan

Jakarta — Dunia kini menyaksikan konstelasi geopolitik paling membara dalam dua dekade terakhir. Konflik Iran–Israel, yang memasuki hari ke-12 pada Selasa, 24 Juni 2025, telah berubah dari perang proxy menjadi konfrontasi terbuka yang melibatkan persenjataan canggih, aktor global, dan risiko perang dunia terbuka.

Israel, yang mengadopsi doktrin preemptive strike Ă  la Begin Doctrine, meluncurkan serangan ofensif terkoordinasi ke jantung infrastruktur Iran.

Target utamanya tak main-main: Penjara Evin yang dikenal menyimpan tahanan politik kelas berat, dan fasilitas nuklir Fordow—situs pengayaan uranium yang dijaga dengan sistem pertahanan udara berlapis.

Serangan udara ini bukan berdiri sendiri. Tiga hari sebelumnya, Amerika Serikat turun tangan langsung, mengerahkan pengebom siluman B-2 Spirit dari pangkalan Diego Garcia.

Dengan senjata pemusnah infrastruktur tipe GBU-57A/B—bunker buster seberat 13 ton—AS menghantam kompleks nuklir Fordow, Natanz, dan Isfahan secara simultan. Sebuah operasi presisi tinggi yang mengindikasikan level keterlibatan taktis yang sepenuhnya berubah.

Iran, yang menganut prinsip deterrence through retaliation, menjawab dengan salvo rudal balistik ke Tel Aviv dan Haifa. Sistem pertahanan Iron Dome bekerja keras, namun beberapa rudal berhasil menembus.

Hasilnya tragis: 24 warga Israel tewas, ratusan terluka, dan kerusakan infrastruktur sipil signifikan. Di sisi lain, lebih dari 400 warga Iran meninggal dunia akibat serangan Israel, termasuk di sekitar zona industri strategis dan kompleks pertahanan Republik Islam itu.

Situasi ini telah menempatkan kawasan Timur Tengah dalam status total war readiness. Iran, mengaktifkan seluruh komando Quds dan pasukan elite IRGC (Islamic Revolutionary Guard Corps), mengklaim akan terus membalas hingga “musuh dan sekutunya tenggelam dalam kelelahan.”

banner 300x600

Dunia pun bersiap dalam siaga tinggi. Rusia, yang sebelumnya cenderung ambigu, kini secara terbuka menyebut serangan AS sebagai “agresi imperialisme.”

Presiden Vladimir Putin mengindikasikan kesiapan membantu Iran—meski bentuknya masih sebatas diplomatik dan logistik non-senjata. Belum ada indikasi pengerahan pasukan atau pengiriman sistem pertahanan udara S-400 ke Teheran.

Bersambung…

Sementara itu, China, sebagai aktor global dengan prinsip heping fazhan (pembangunan damai), lebih memilih jalur mediasi. Beijing mengecam keras tindakan Washington dan menyerukan gencatan senjata segera. Tapi keterlibatannya sejauh ini bersifat normatif, tanpa dukungan militer eksplisit.

Eskalasi kian memburuk ketika Iran meluncurkan serangan ke pangkalan militer AS di Qatar. Operasi ini menunjukkan bahwa perang telah melewati batas bilateral dan menjalar ke ruang geopolitik yang lebih luas. Para analis militer menyebut, ini adalah fase horizontal escalation, di mana konflik menyebar ke lokasi strategis sekutu musuh.

Presiden AS Donald Trump mengklaim gencatan senjata telah tercapai melalui jalur rahasia diplomasi Swiss. Namun Iran membantah keras. Menteri Luar Negeri Iran menyebut klaim Trump sebagai “operasi psikologis” dan menyatakan bahwa “Teheran tak akan tunduk pada diplomasi di bawah bombardemen.”

Para ahli geopolitik menyebut konflik ini sebagai bentuk hybrid warfare, campuran antara perang konvensional, serangan siber, disinformasi, dan tekanan diplomatik. Muncul pula kekhawatiran bahwa jika konstelasi ini tak segera mereda, maka kawasan Timur Tengah bisa menjadi arena “Perang Dunia Mikro” yang menyulut ketidakstabilan global—terutama dalam sektor energi dan keamanan perbatasan laut.

Pasar global mulai bereaksi. Harga minyak mentah menembus USD 140 per barel. Bursa saham Asia terguncang. Armada Laut Tengah NATO bersiaga penuh. Dan seluruh dunia menahan napas: menanti apakah diplomasi bisa memadamkan api, atau justru api akan melumat diplomasi itu sendiri.(*)

Konflik Iran–Israel saat ini tak lagi sekadar soal pertahanan dan serangan. Ini adalah pertarungan doktrin, teknologi, dan eksistensi. Dunia kembali di ambang perang dengan parameter baru—di mana misil bukan hanya alat perang, tapi juga pesan politik. (*)

Editor: Edy Basri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup