Perang Ego, Atau Kita Semua Mati (Kiamat)
Andai saja perang Israel Vs Iran bisa disetop. Mungkin itu lebih bermanfaat. Buang ego demi kesemalatan bersama
Oleh: Edy Basri (Pemed Katasulsel.com)
Tepat hari ke-12. Langit Teheran belum tenang. Udara Tel Aviv masih bergetar. Ledakan tak lagi asing, dentuman menjadi ritme baru yang menakutkan. Dunia menyaksikan—dan diam-diam khawatir—bahwa ini bukan sekadar perang biasa. Ini tentang ego.
Tentang siapa yang paling berani menginjak garis merah. Dan siapa yang paling siap mempertaruhkan segalanya, bahkan eksistensi umat manusia.
Iran dan Israel sedang tidak hanya bertempur. Mereka sedang saling membakar harga diri, membuktikan doktrin, dan memainkan kartu besar dalam permainan yang bisa sangat cepat keluar dari kendali. Kita belum bicara soal kiamat. Tapi percikan itu ada. Dan dunia mencium baunya.
Ketika Israel menghantam fasilitas nuklir Fordow dan Evin Prison, dunia tahu ini bukan sekadar aksi pre-emptive. Ini deklarasi. Iran menjawab dengan rudal yang menghujani Tel Aviv dan Haifa. Rudal dengan daya rusak tinggi dan sasaran sipil. Ini bukan perang dingin. Ini juga bukan perang terbatas. Ini pertarungan tanpa garis putih.
Amerika, dengan gaya khas hegemon global-nya, turun tangan. Mengirim B-2 Spirit. Menjatuhkan bom bunker-buster ke jantung infrastruktur Iran. Tidak semua bom itu mengarah ke senjata. Beberapa mengarah ke simbol. Ke wajah. Ke pesan: Kami tidak akan diam.
Dan di situlah letupan menjadi ledakan.
Perang ini bukan lagi hanya antara dua negara. Ini sudah menyeret dua arsitek kekuatan dunia: Rusia dan China.

Rusia bereaksi cepat. Vladimir Putin menyebut serangan AS sebagai agresi yang “tak beralasan“. Sebuah bentuk imperial assertion yang mengancam stabilitas global. Iran meminta dukungan langsung. Rusia belum mengirim pasukan, tapi kapal-kapalnya mulai bergerak di Laut Kaspia.
Sistem S-400 dilaporkan siap siaga di selatan Rusia. Dunia berspekulasi: apakah ini tanda bahwa Moskow bersiap masuk gelanggang?
Sementara itu, China—dengan gaya diamnya yang khas—menyampaikan kecaman keras terhadap AS dan Israel. Bukan dengan rudal, tapi dengan retorika. Beijing menawarkan diri sebagai mediator, tapi juga memperkuat aliansi dagang dan pertahanan regional. Ketika dua naga ini bergerak, suhu bumi politik langsung naik drastis.
AS, Rusia, dan China—tiga kutub yang tak mungkin satu meja jika tidak ada taruhan besar. Dan sayangnya, taruhan itu kini bukan hanya minyak, teritori, atau ideologi. Tapi masa depan manusia.
Mari bicara tentang hal yang tak disukai banyak orang: skenario kiamat.
Dunia memiliki sekitar 13.000 hulu ledak nuklir. Lebih dari separuhnya ada di tangan AS dan Rusia. Sisanya tersebar di antara beberapa negara: China, Prancis, Inggris, Pakistan, India, Israel, dan Korea Utara.
Bersambung….
Jika perang ini meledak menjadi konflik nuklir, cukup satu peluncuran untuk memicu mutual assured destruction (MAD)—kondisi saling hancur yang dijamin dan tak terelakkan.
Israel bukan anggota resmi pemilik senjata nuklir, tapi laporan intelijen internasional meyakini mereka memiliki sekitar 80–90 hulu ledak aktif. Iran memang belum memiliki senjata itu, tapi banyak yang percaya mereka sangat dekat.
Dan di sinilah bahaya terbesar mengintai: ketika ego nasionalisme bertemu kemampuan nuklir, semua teori damai jadi teori usang.
Semua peringatan ilmuwan berubah jadi berita duka. Ketika perang tidak lagi diredam dengan diplomasi, melainkan dibakar oleh superioritas, maka dunia sedang berjalan menuju lubang kubur yang dia gali sendiri.
Jangan pernah mengira hanya Timur Tengah yang akan hancur. Ledakan nuklir bukan sekadar cahaya di padang pasir. Itu adalah radiasi yang menembus batas waktu dan ruang. Angin akan membawanya ke benua lain. Partikel radioaktif tidak mengenal wilayah netral.
Asia Tenggara, Eropa, bahkan Samudra Pasifik bisa berubah menjadi kuburan senyap tanpa suara. Dunia global saat ini terhubung oleh jalur perdagangan, atmosfer, dan aliran data—sekali satu titik hancur, semuanya ikut berjatuhan seperti domino.
Sejarah sudah mencatat: Perang Dunia I meletus bukan karena satu negara ingin perang, tapi karena semua merasa tak bisa mundur. Sejarah juga mencatat, Perang Dunia II dimulai saat satu orang menganggap dirinya benar di atas semuanya.
Apakah kita akan mengulang sejarah yang sama? Kali ini dengan senjata yang daya ledaknya setara ribuan bom Hiroshima?
Diplomasi masih punya peluang. Tapi waktunya sangat tipis. Dunia butuh lebih dari sekadar pertemuan meja bundar. Butuh keberanian politik yang tulus. Keikhlasan untuk mengalah. Keputusan yang diambil bukan karena tekanan internal, tetapi demi keberlangsungan hidup spesies manusia itu sendiri.
Kita semua tahu, ini bukan hanya soal politik luar negeri. Ini bukan cuma urusan Arab, Yahudi, Syiah, atau Sunni. Ini soal kehidupan.
Soal dunia yang sedang bertaruh dengan tombol merah.
Apakah ini hanya soal ego?
Ataukah kita semua benar-benar sedang mengarahkan diri ke kehancuran total?
Karena kalau jawaban yang menang adalah ego, maka jangan heran jika kiamat bukan lagi konsep agama—tapi hasil dari kesombongan manusia yang merasa paling benar, dan terlalu sombong untuk berhenti.
Pilihan ada di meja diplomasi. Atau di kokpit rudal balistik antar-benua.
Perang ego. Atau kita semua mati. (*)
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti