Sobis dan Ancaman Generasi Masa Depan
Nilai-nilai luhur seperti “mali siparappe, rebba sipatokkong, malilu sipakainge”—yang menekankan pentingnya tolong-menolong dan saling mengingatkan—kini menjadi slogan yang kehilangan makna. Para pendakwah, pemuka adat, bahkan tokoh masyarakat telah mengingatkan tentang bahaya sobis, namun suara mereka belum mampu menembus ruang-ruang hati yang sudah terhegemoni oleh gaya hidup cepat dan serba instan. Kelemahan pemahaman terhadap nilai hukum, ditambah lemahnya penegakan hukum, memperparah situasi ini.
Kenyataannya, praktik sobis tumbuh subur dalam iklim globalisasi dan perkembangan teknologi yang tidak diimbangi oleh kesiapan etika masyarakat. Dalam perspektif antropologi global, Arjun Appadurai pernah menyinggung tentang bagaimana budaya lokal bisa terseret oleh arus homogenisasi, hibridisasi, hingga westernisasi. Budaya digital dan konsumerisme yang menyusup dalam sistem sosial lokal telah membentuk generasi yang lebih menghargai uang daripada nilai. Fenomena sobis adalah potret buram dari akulturasi teknologi tanpa fondasi moral.
Hari ini, dengan mudah kita mendengar percakapan via telepon seluler yang mengindikasikan penipuan. Sobis tidak lagi membedakan siapa targetnya—semua bisa jadi korban. Namun apa yang bisa dilakukan masyarakat awam selain mengingatkan? Menyuarakan protes tanpa simbol kekuasaan hanyalah seperti angin lalu. Bahkan aparat hukum hanya bisa bergerak jika korban datang lengkap dengan bukti. Lalu bagaimana dengan korban yang tak punya nyali, atau bahkan tak punya bukti? Diamnya mereka bukan karena tak mau bicara, tapi karena takut, malu, atau pasrah.
Pertanyaan besarnya: Apa yang harus dilakukan pemerintah dan aparat hukum? Fenomena sobis bukan lagi isu pinggiran. Ia sudah menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan merusak karakter generasi muda. Saat ini, diperlukan sinergi yang kuat antara pemerintah, aparat, tokoh agama, tokoh adat, dan lembaga pendidikan untuk turun langsung ke lapangan. Edukasi nilai hukum dan moral harus dilakukan secara menyeluruh dan intensif. Penindakan juga tak boleh lagi setengah hati. Karena jika tidak dilakukan sekarang, kita hanya akan menjadi saksi kehancuran generasi masa depan.
Belum selesai kita melawan narkoba, kini datang ancaman sobis yang menggerogoti dari dalam. Akankah kita diam sampai semuanya terlambat? Jika karakter generasi muda telah rusak total, apakah barulah kita mulai menyesal? Wallahu a’lam bissawab. (*)
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti