Katasulsel.com

Portal berita terpercaya yang mengulas Indonesia dari jantung Sulawesi Selatan. Aktual, tajam, dan penuh makna.

Feature

100 Hari TSM-MO di Parepare: Janji yang Terbungkus Hening

Seratus hari pemerintahan seharusnya menjadi titik tolak, bukan titik tanya. Tapi di Parepare, publik masih menyusun ingatan akan janji—bukan karena sudah ditepati, melainkan karena takut terlupakan.

Oleh: Ade Cahyadi
(Alumni S2 Ilmu Tata Negara Universitas 45)

Janji seragam gratis, beasiswa, posyandu digital, creative hub, hingga reformasi layanan publik, masih banyak yang belum bergerak dari halaman manifesto ke ruang implementasi. “Kami masih menunggu, tapi yang terlihat baru seremoni,” ucap Andi, seorang pegiat komunitas kreatif, menggambarkan kejenuhan yang perlahan berubah menjadi skeptisisme.

Wakil Ketua DPRD, Yusuf Lapanna, juga menyampaikan kritik yang senada. Ia menilai program-program yang digadang belum menyentuh substansi, dan ruang publik terlalu lama diisi oleh aktivitas simbolik. Parepare, katanya, tidak butuh parade, tapi progres.

Namun ada dinamika yang lebih sunyi, lebih berbahaya: pembungkaman kritik melalui tekanan terhadap media lokal.
Beberapa jurnalis dan pengelola media mengaku mendapat tekanan dari individu yang mengaku bagian dari tim TSM-MO.

Tekanannya tidak selalu frontal, tapi terasa sistemik. Dari imbauan “jangan terlalu keras” perintah kepada redaktur, permintaan revisi pada tajuk kritis, hingga peringatan tidak langsung bahwa kerja sama publikasi dengan pemerintah bisa diputus jika narasi tidak “sejalan”.

“Kami hanya memberitakan realitas. Tapi lalu datang kabar, kalau kami terus mengkritik, kerja sama media bisa dihentikan,” ujar salah satu pemimpin redaksi media lokal. Ini bukan hanya intervensi kebebasan pers, tapi juga bentuk pembatasan akses publik terhadap informasi yang seharusnya terbuka.

Dalam konteks ini, muncul suara yang lebih kuat dari lingkaran politik lokal. Tokoh masyarakat dan Ketua DPC Partai Demokrat Kota Parepare, Rahmat Sjamsu Alam, menegaskan bahwa tidak ada lagi alasan untuk menunda implementasi 18 program unggulan, mengingat RPJMD 2025–2029 telah resmi ditetapkan.

“Walaupun ada keterbatasan anggaran, program harus tetap diupayakan. Kepala daerah harus mulai dari pembenahan birokrasi, fokus pada layanan masyarakat. Jangan melihat siapa, tapi lihat siapa yang mampu menyakinkan bahwa visi program ini bisa berjalan dengan baik.”

Pernyataan ini memberi isyarat bahwa tantangan TSM-MO bukan lagi soal arah, tapi keberanian mengeksekusi. Apalagi jika retorika dibarengi dengan pembungkaman, bukan dialog yang terbuka.

Sebagai respons atas kelesuan ini, gerakan demi gerakan melalui aksi unjuk rasa warga menjadi bentuk perlawanan sipil terhadap stagnasi dan kontrol narasi. Masyarakat bergerak tak hanya untuk mengingatkan, tapi juga menjaga agar suara mereka tak dibungkam demi kenyamanan penguasa.

Seratus hari tak harus menjadi mahkota pencapaian. Tapi jangan pula ia menjelma selimut keheningan. Kota ini telah menanti terlalu lama dan barangkali, hanya akan percaya lagi jika janji yang terdengar, akhirnya benar-benar menyentuh bumi.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup
Exit mobile version