Wanita Paling Kaya di Dunia, Tapi Tak Butuh Jet Pribadi

NEW YORK, Katasulsel.com — Dunia mencatat rekor baru tahun ini. Bukan di Nasdaq. Bukan di Grammy. Tapi di daftar kekayaan global: seorang perempuan muda, mantan dropout kampus, kini duduk di puncak sebagai wanita terkaya sejagat. Namanya Lucy Guo.

Usianya baru 31. Penampilannya biasa saja. Hoodie. Sneakers. Rambut dikuncir tanpa niat gaya. Tapi di balik itu, ia menyimpan sesuatu yang tak semua orang punya: visi. Visi yang melambungkan valuasi perusahaannya hingga $25 miliar dan membuat dunia menoleh ke Silicon Valley, bukan untuk hype baru, tapi untuk sebuah nama—Lucy Guo.

Lahir di Fremont, California, dari orang tua imigran Tionghoa. Lucy tumbuh bersama nilai-nilai keuletan, bukan kemapanan. Ia sempat kuliah di Carnegie Mellon University. Jurusan Ilmu Komputer. Tapi keluar sebelum lulus. Alasannya sederhana: lebih percaya pada jalan hidup sendiri. Apalagi setelah menerima Thiel Fellowship—hibah $100.000 dari Peter Thiel untuk anak muda yang memilih membangun sesuatu ketimbang duduk di bangku kuliah.

Dari titik itu, sejarah mulai berubah. Bersama Alexandr Wang, Lucy mendirikan Scale AI. Sebuah perusahaan teknologi yang kini menggerakkan sistem kecerdasan buatan untuk raksasa industri. Dari militer, mobil otonom, sampai teknologi medis, semuanya disentuh oleh algoritma yang pernah ia tulis.

Bersambung…

Ia keluar dari perusahaan itu tahun 2018. Tapi sahamnya tetap diam di situ, tumbuh diam-diam, dan meledak di tahun-tahun berikutnya. Tahun ini, 2025, kekayaan bersihnya tembus $1,3 miliar. Taylor Swift harus menyerah. Mahkota wanita terkaya dunia kini berpindah kepala. Ke kepala yang tak pernah meminta tepuk tangan.

Lucy tak berhenti di Scale. Ia mendirikan Passes, startup baru yang memberi kebebasan finansial bagi para kreator digital. Platform ini memungkinkan konten kreator memonetisasi karya mereka tanpa bergantung pada iklan atau algoritma platform besar. Sebuah pemberontakan diam-diam terhadap sistem yang terlalu lama dikuasai konglomerat digital.

Media menjulukinya “Elon Musk versi perempuan.” Tapi Lucy tak pernah merasa perlu jadi siapa-siapa. Ia tak butuh roket. Tak butuh Tesla. Tak butuh Mars. Ia hanya butuh ruang untuk membuktikan bahwa perempuan juga bisa berdiri di puncak teknologi, tanpa harus jadi bayang-bayang siapa pun.

banner 300x600

Lucy hidup sederhana. Tak ada vila di Malibu. Tak ada yacht. Ia lebih suka apartemen biasa, makan di warung jalanan, dan ngoding di sudut kafe. Bahkan dalam wawancara, ia sering mengatakan: “Uang bukan tujuan. Impact adalah arah.” Sebuah kalimat yang terdengar seperti mantra dari masa depan.

Ia aktif berbicara di podcast, Twitter, dan forum-forum teknologi. Bukan untuk narsis. Tapi untuk menyemangati perempuan muda agar berani masuk dunia STEM. Ia tahu betul, panggung ini terlalu lama dikuasai laki-laki. Dan ia ingin mengubah itu. Dengan tenang. Dengan kerja. Bukan teriak.

Lucy Guo adalah bukti hidup bahwa kemewahan tak selalu tampak di luar. Kadang justru ada dalam cara berpikir. Dalam cara memimpin. Dalam cara memilih untuk tak memamerkan apa-apa.

Ia adalah miliarder yang memilih jalan sunyi. Yang menaklukkan dunia dengan gaya antitesis dari para selebriti kapitalisme.

Dan mungkin, justru karena itu, dunia menaruh hormat padanya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup