Ismail Suardi Wekke, Majelis Nasional KAHMI
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sebuah nama yang bukan tiba-tiba ada. Punya sejarah panjang. Bahkan mungkin lebih panjang dari usia beberapa partai politik. Dari Soekarno, Soeharto, sampai era reformasi. HMI selalu ada. Selalu disebut.
Tapi, apakah HMI selalu perlu dibela? Jawaban saya: Tidak. Bahkan Gus Durpun sudah menulis artikel yang terbit tahun 1982 berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela. Kemudian artikel ini dijadikan bagian dari buku dengan judul yang sama (1999).
Maka ketika Cak Imim menyatakan “Kalau Ada yang Tak Tumbuh dari Bawah Pasti Bukan PMII, Itu HMI” (Republik Merdeka, 2025), maka itu tetap saja juga tidak perlu dibela. Bolehjadi Cak Imim berjumpa dengan realitas itu selama ini.
HMI lahir dari rahim pergolakan. Dari semangat keislaman dan keindonesiaan. Mereka berjuang melawan penjajah. Melawan kemiskinan dan kebodohan. Kader-kadernya mengisi pos-pos penting. Di pemerintahan. Di parlemen. Di perusahaan negara. Mereka berprestasi. Mereka berkarya.
Banyak alumni HMI jadi negarawan. Jadi ilmuwan. Jadi pengusaha sukses. Nama-nama besar seperti Nurcholish Madjid, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla. Mereka adalah bukti. Bukti bahwa HMI punya kualitas. Punya daya saing.
HMI itu organisasi besar. Sudah matang. Sudah punya akar kuat di mana-mana. Punya jaringan luas. Punya alumni loyal. Mereka mandiri. Mereka bisa berdiri di kaki sendiri.
HMI tidak butuh pembelaan cengeng. Tidak butuh dikasihani. Kalau ada kritik, hadapi. Kalau ada masalah, selesaikan. Dengan kepala tegak. Dengan akal sehat. Bukan dengan merengek. Bukan dengan victim blaming.
Justru, kritik itu penting. Ibarat vitamin. Membuat HMI kuat. Membuat HMI sehat. Tanpa kritik, organisasi bisa stagnan. Bisa jadi dinosaurus. Tidak relevan dengan zaman.
Dulu, HMI selalu di depan. Di garis terdepan perjuangan mahasiswa. Mengkritisi kebijakan pemerintah. Menyuarakan aspirasi rakyat. Berani. Tegas. Tanpa pandang bulu. Semangat itu yang harus dijaga.
Sekarang, tantangan berbeda. Bukan lagi kolonialisme fisik. Tapi kolonialisme ideologi. Kolonialisme digital. Informasi menyebar cepat. Hoaks mudah dipercaya. Polarisasi merebak.
Bagaimana HMI menyikapinya? Apakah tetap relevan? Apakah bisa jadi penengah? Atau justru ikut terseret arus? Ini pertanyaan penting. Yang harus dijawab kader HMI sendiri.
Masa depan HMI ada di tangan kadernya. Bukan di tangan pembela-pembela dari luar. Kader HMI harus cerdas. Harus kritis. Harus punya integritas.
Mereka harus mampu beradaptasi. Mampu berinovasi. Mampu berkontribusi nyata bagi bangsa. Bukan hanya sibuk berebut jabatan. Bukan hanya sibuk mencari keuntungan pribadi.
Jika kader HMI berkualitas, berintegritas, dan berkarya nyata,
HMI tidak perlu dibela. Ia akan dibela oleh reputasinya sendiri. Dibela oleh karyanya. Dibela oleh sumbangsihnya pada masyarakat.
HMI itu seperti pohon besar. Akarnya kuat. Cabangnya rimbun. Buahnya manis. Ia akan tetap kokoh. Meski badai menerpa. Karena ia punya kekuatan dari dalam. Kekuatan yang tak perlu pembelaan.
Organisasi mahasiswa seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) menghadapi tantangan unik. Mereka harus relevan dengan masyarakat tanpa terseret arus politik praktis. Keseimbangan ini krusial agar HMI tetap membumi, bukan sekadar mengejar kekuasaan sesaat.
Untuk tetap membumi, HMI perlu fokus pada pengembangan intelektual anggotanya. Diskusi kritis, kajian ilmiah, dan seminar berkelanjutan harus jadi agenda utama. Ini akan membentuk kader yang cerdas, punya landasan pemikiran kuat, dan tidak mudah terombang-ambing kepentingan politik. HMI harus jadi oase ilmu, bukan arena intrik.
Selanjutnya, HMI perlu aktif dalam pengabdian masyarakat. Program sosial, advokasi isu kerakyatan, dan pemberdayaan komunitas adalah wujud konkret keberpihakan pada rakyat. Ketika HMI hadir di tengah masyarakat membantu memecahkan masalah riil, kehadirannya akan jauh lebih bermakna ketimbang sekadar berpolitik di balik meja. Ini membangun legitimasi, bukan dari kekuasaan, melainkan dari kontribusi nyata.
Penting juga bagi HMI untuk menjaga independensinya. Jangan biarkan HMI menjadi alat atau tunggangan partai politik manapun. Sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah maupun oposisi harus terus diasah. Ketika HMI berani bersuara atas nama kebenaran dan keadilan, tanpa terikat kepentingan, disitulah marwah organisasi terjaga. Kemandirian adalah kunci agar HMI tetap relevan dan dipercaya.
Dengan berfokus pada pengembangan intelektual, pengabdian masyarakat, dan menjaga independensi, HMI akan tetap menjadi kekuatan moral yang membumi. Ia akan dikenal karena kontribusinya bagi bangsa, bukan karena ambisinya merebut kursi kekuasaan. Ini adalah jalan bagi HMI untuk terus relevan dan memberikan dampak positif jangka panjang. (*)
Tidak ada komentar