Sidrap, katasulsel.com – Ada momen yang bikin semua tamu mendadak hening, bukan karena upacaranya tegang, tapi karena… menyentuh hati.
Itulah saat Wakil Bupati Sidrap, Nurkanaah, maju dan dengan tenang memasangkan cincin ke jari Muhammad Wardiman Razak. Bukan sebagai simbol restu orang tua—tapi sebagai bentuk penghormatan, sekaligus pesan simbolik:
“Kini kamu bukan hanya suami, tapi juga pemimpin kecil yang harus siap membangun rumah tangga dengan nilai kepamongprajaan.”
Momen itu nggak megah secara visual. Nggak ada musik keras, nggak ada lempar-lempar bunga. Tapi suasananya… syahdu. Tenang. Dalam. Para tamu bahkan bisa merasakan makna besar dari gerakan kecil itu.
Wardiman yang biasanya berdiri tegap ala pamong, terlihat sedikit gugup. Tapi senyumnya tulus. Sementara di sisi lain, drg. Widyanti menatap dengan mata berkaca. Tak ada dialog, hanya gestur. Tapi semua tahu: inilah saat dua dunia disatukan. Dunia pelayanan publik… dan dunia keluarga.
Tak lama setelah itu, Widyanti menerima simbol pakaian Dharma Wanita, semacam selempang tak resmi, tapi berat secara makna. Seolah berkata:
“Mulai hari ini, aku juga ikut mengabdi—meski dari balik layar, di balik pintu rumah, di balik peran sebagai istri.”
Kalau biasanya pasang cincin itu soal cinta-cintaan dan janji manis dua sejoli, di pernikahan ini cincin itu seperti medali awal sebelum mereka menempuh perjalanan panjang sebagai pasangan ASN, sebagai keluarga pamong.
Dan di tengah tepuk tangan pelan, beberapa tamu mengangguk pelan. Mungkin sambil berpikir, “Ternyata… pernikahan bisa seserius ini, tapi tetap hangat dan manusiawi.” (*)
Editor: Harianto
Tidak ada komentar