BPK menyebutkan bahwa dasar pemberian tunjangan harus mempertimbangkan asas kepatutan, kewajaran, dan efektivitas penggunaan anggaran, serta merujuk pada penilaian profesional yang objektif. Ketidaksesuaian antara regulasi internal dengan nilai pasar menjadi landasan utama munculnya selisih pembayaran tersebut.
Adapun pembayaran tunjangan yang tidak sepadan dengan nilai sewa pasar berpotensi masuk dalam kategori pemborosan anggaran dan berisiko menjadi beban keuangan negara apabila tidak dikembalikan.
Dari sisi hukum, temuan ini masuk dalam ranah administratif dan menjadi tanggung jawab pihak pengelola keuangan daerah untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam perundang-undangan.
Tidak ada indikasi pidana yang disebutkan dalam LHP BPK, namun lembaga pemeriksa negara tersebut memberikan rekomendasi agar selisih pembayaran diselesaikan melalui pengembalian ke kas daerah secara penuh.
Langkah pengembalian sebagian dana oleh pihak terkait menjadi awal penyelesaian administratif yang patut diapresiasi. Namun demikian, sisa nilai yang belum dikembalikan masih menjadi tanggung jawab yang harus diselesaikan untuk menjaga prinsip akuntabilitas dan integritas anggaran publik.
Pemerhati kebijakan publik menilai bahwa kasus ini merupakan cerminan pentingnya penyelarasan antara kebijakan keuangan daerah dan hasil penilaian profesional.
Dalam kerangka hukum keuangan negara, penggunaan APBD wajib mengacu pada asas efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Sekretariat DPRD maupun Pemerintah Kota Parepare terkait langkah-langkah lanjutan atas temuan tersebut.
Namun publik berharap proses penyelesaian dilakukan secara terbuka, cepat, dan sesuai aturan hukum yang berlaku demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penyelenggara pemerintahan. (tim)
Tidak ada komentar