Jakarta, Katasulsel.com — Sebagai bagian dari upaya memperkuat literasi budaya dan pemahaman lintas bangsa, Universitas LIA menggelar sebuah workshop interaktif bertajuk “Seni dan Filosofi Bentou Jepang” di Auditorium kampus, Jakarta Selatan, Kamis, 17 Juli 2025.
Tak sekadar suguhan kuliner visual, acara ini menjadi perwujudan pendekatan edukasi transnasional yang mengintegrasikan nilai-nilai kultural dalam proses pembelajaran lintas disiplin.
Tradisi Bentou — kotak makan siang khas Jepang — diposisikan dalam workshop ini bukan semata sebagai artefak kuliner, melainkan sebagai ekspresi sociocultural embodiment yang menyimpan filosofi hidup masyarakat Jepang: kedisiplinan, estetika detail (wabi-sabi), hingga bentuk simbolik kasih sayang antarindividu.
Dengan demikian, Bentou tak hanya dinikmati secara organoleptik, tetapi juga dimaknai secara epistemologis.
Rektor Universitas LIA, Assoc. Prof. Dr. Siti Yulidhar Harunasari, M.Pd., dalam sambutannya menegaskan bahwa pengenalan budaya seperti Bentou sejalan dengan pendekatan holistik-integratif dalam pembelajaran bahasa asing.
“Tradisi Bentou mengajarkan kita tentang etos disiplin, nilai keharmonisan, dan kepekaan terhadap detail—yang semuanya merupakan elemen sentral dalam budaya Jepang. Melalui workshop ini, kami berharap peserta tak hanya memahami cara menyusun makanan, tetapi juga meresapi nilai-nilai yang terkandung di baliknya,” ujarnya.
Workshop menghadirkan narasumber utama langsung dari Jepang, Ishikawa Hanae, seorang praktisi budaya Bentou, yang didampingi oleh Dr. Diah Madubrangti, M.Si., akademisi dan pakar komunikasi lintas budaya.
Keduanya tampil mengenakan Yukata — pakaian tradisional Jepang — sebagai representasi visual semiotic yang turut memperkaya pengalaman partisipatif peserta.
Tak kurang dari 50 peserta yang terdiri atas siswa SMA, mahasiswa, hingga masyarakat umum mengikuti sesi praktik dengan antusias.
Mereka diajak menyusun komposisi Bentou secara langsung, mulai dari teknik dasar menata nasi dan lauk, hingga prinsip aesthetics of food arrangement, yang menekankan keseimbangan warna, bentuk, dan tekstur — prinsip yang dikenal dalam istilah Jepang sebagai “goshiki” (lima warna) dan “gomi” (lima rasa).
Tak hanya sebagai ajang eksperimen kuliner, workshop ini juga memperlihatkan bagaimana intercultural pedagogies dapat diterapkan secara aplikatif dalam konteks pembelajaran.
Universitas LIA, melalui kolaborasi strategisnya dengan Japan Center dan Kanda University of International Studies, menegaskan dirinya sebagai epicentrum pembelajaran budaya Jepang di Indonesia yang adaptif dan progresif.
Kegiatan ini pun dipandang sebagai model implementatif dari glocalization — penggabungan nilai-nilai global dalam konteks lokal — yang secara langsung memperkaya ruang-ruang pendidikan tinggi di Indonesia.
Dengan mengusung prinsip learning beyond classroom, Universitas LIA memperluas horizon pemahaman budaya, menjembatani dialog antarmasyarakat, sekaligus menumbuhkan apresiasi terhadap keberagaman budaya global secara substantif dan kontekstual. (*)
Editor: Edy Basri
Tidak ada komentar