Makassar , Katasulsel.com – Di tengah kompleksitas pembangunan dan investasi yang kerap terjerat birokrasi, tumpang tindih lahan, dan bayang-bayang mafia tanah, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) muncul dengan pendekatan tak lazim: hukum yang hadir bukan untuk mengadili lebih dulu, tapi untuk mengurai dan mengawal.
Dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa ke-65, Selasa (22/7/2025), Kejati Sulsel menggagas dialog publik bertajuk “Jaksa Menyapa”, disiarkan langsung melalui RRI Makassar dan kanal YouTube resminya. Tema yang diangkat tidak main-main: “Kejaksaan dan Pembangunan Berkeadilan: Mengawal Investasi untuk Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi di Sulawesi Selatan.”
Tokoh sentral dalam diskusi ini, Agus Salim—Kepala Kejati Sulsel sekaligus Ketua Satgas Percepatan Investasi Provinsi—menampilkan wajah Kejaksaan yang berpindah dari ruang penyidikan ke ruang penyelesaian struktural. Ia membuka diskusi dengan membedah Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, terutama visi hilirisasi sumber daya alam dan supremasi hukum sebagai prasyarat investasi.
“Pertumbuhan ekonomi 8% itu bukan mimpi, tapi jalan menuju ke sana harus dibersihkan dari ketidakpastian hukum,” tegas Agus.
Ia menyinggung langsung tantangan di daerah: tidak adanya Satgas Percepatan Investasi sebagaimana di tingkat pusat. Maka, inisiatif daerah menjadi krusial. Di sinilah Kejati Sulsel mengambil peran tak lazim—membentuk satgas lokal dengan prinsip kerja “one stop solution”, yang tak hanya mempercepat proses, tapi juga menyatukan instansi yang kerap ego sektoral.
Contoh paling konkret adalah pada proyek strategis nasional Bendungan Jenelata. Progres yang awalnya stagnan di angka 3% terdongkrak ke 14% setelah Satgas turun tangan. Bukan hanya urusan hukum, tapi soal keberanian mengambil keputusan, mediasi lintas sektor, dan pendekatan yang solutif, bukan represif.
Suryadarma Hasyim, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang, memberikan pengakuan jujur: pembangunan Bendungan Jenelata senilai Rp4,1 triliun sempat jalan di tempat karena pembebasan lahan. Banyak lahan berada di kawasan hutan, ada pula yang tumpang tindih klaim.
“Setelah didampingi Kejati, bahkan BPN jadi lebih berani mengambil keputusan. Rasa ragu-ragu itu hilang, karena ada jaminan kepastian hukum,” kata Suryadarma.
Ia bahkan menyebut optimisme baru lahir setelah pendampingan Kejaksaan—sesuatu yang selama ini absen dalam dinamika pembangunan. Salah satu kasus paling kompleks adalah lahan milik PTPN yang diklaim masyarakat. Alih-alih menggiring ke ranah pidana, Kejati memilih memanggil semua pihak, memediasi, dan menyelesaikan di meja solusi.
Diskusi ini bukan sekadar talkshow memperingati hari jadi institusi. Ia adalah demonstrasi bahwa hukum tak harus menunggu pelanggaran untuk turun tangan. Di Sulawesi Selatan, kejaksaan sedang membuktikan bahwa mengawal investasi bukan berarti berkompromi pada aturan, tapi memberi arah agar pembangunan bisa bergerak tanpa ketakutan.
Dengan pengawalan ini, hukum berubah peran: dari tembok yang membatasi, menjadi pagar yang mengamankan dan lorong yang membuka jalan.
Jika mimpi 8% pertumbuhan ekonomi hendak diraih, maka seperti yang dikatakan Agus Salim, “kepastian hukum bukan bonus—ia adalah prasyarat.” Dan mungkin, itu adalah bentuk paling konkret dari pembangunan yang benar-benar berkeadilan.(*)
Editor: Tipoe Sultan
Tidak ada komentar