Wajo, Katasulsel.com — Proses lelang proyek infrastruktur kembali mengusik rasa keadilan publik di Kabupaten Wajo. Kali ini, sorotan mengarah pada tender proyek rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana ruas Menge–Bendoro di Kecamatan Belawa, yang bernilai lebih dari Rp5,4 miliar.
Indikasi ketimpangan mencuat setelah sejumlah peserta tercatat memasukkan penawaran yang sangat mendekati Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Dari data terbuka di laman resmi LPSE, empat perusahaan muncul sebagai penawar teratas. Seluruh nilai penawaran mereka berada dalam rentang tipis, dengan selisih yang terlalu sempit untuk tidak menimbulkan tanya. Diduga, hanya satu di antara mereka yang berbasis di Wajo; tiga lainnya berasal dari luar daerah.
Rinciannya sebagai berikut:
Kondisi ini segera memantik reaksi dari LSM Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Wajo. Ketua LIRA, Abrar Mattalioe, menyampaikan kekhawatiran atas potensi praktik “pengondisian” dalam proses seleksi.
“Kalau penawaran hanya selisih tipis, lalu mayoritas berasal dari luar, ini mengindikasikan adanya pola tertentu yang harus diawasi lebih dalam. Jangan sampai proses ini sudah diarahkan dari awal untuk menguntungkan pihak tertentu,” ujar Abrar, Kamis (24/7).
Ia menekankan bahwa proses pengadaan harus memberi ruang adil bagi penyedia lokal, terutama dalam proyek-proyek yang bersumber dari dana pemulihan pascabencana. Menurutnya, keberpihakan pada pelaku lokal bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga menyangkut prinsip keadilan sosial dan pembangunan yang inklusif.
“Kami tidak menuduh, tapi mendorong transparansi. Jika pelaku lokal hanya dijadikan pemanis, dan pemenang sesungguhnya sudah ditentukan, itu bukan lelang—melainkan pengkhianatan pada sistem,” lanjutnya.
LIRA pun mendesak agar proses evaluasi penawaran dikawal secara menyeluruh oleh Inspektorat Daerah dan APIP, demi memastikan tidak ada pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tata kelola yang bersih.
Hingga laporan ini diturunkan, pihak LPSE maupun Pokja Pemilihan belum memberikan tanggapan resmi. Di tengah harapan masyarakat terhadap pembangunan yang bermutu dan transparan, keheningan ini hanya memperkuat desakan agar proses tender tidak dijadikan ruang abu-abu yang mengabaikan kepentingan daerah. (edy)
Tidak ada komentar