Pagi itu, kota Padang belum sepenuhnya terbangun ketika satu bus wisata berlogo “Miyor” perlahan melaju ke arah utara. Isinya bukan rombongan artis, bukan pula turis luar negeri. Tapi wajah-wajah yang tak kalah bersinar—para ibu anggota IKWI Sumatera Barat—yang pagi itu tak sekadar melakukan perjalanan, tapi merayakan usia organisasi mereka yang ke-64.
Mereka tertawa. Mereka bernyanyi. Tapi ada pula yang diam, memandangi keluar jendela, seolah sedang merapalkan doa syukur atas perjalanan panjang yang telah ditempuh organisasi ini. Perjalanan pertama mereka pagi itu bukan menuju destinasi wisata, tapi ke tempat yang lebih sunyi: Panti Jompo Sabai Nan Aluih di Sicincin, Padang Pariaman.
Di tempat itu, raut ceria para ibu berubah haru. Mereka membawa bantuan: pakaian layak pakai, sembako, susu, dan makanan ringan. Sebagian bantuan disumbangkan pengusaha sukses keripik balado, Christine Hakim. Tapi lebih dari sekadar bantuan fisik, yang dibawa para ibu ini adalah pelukan, perhatian, dan cerita. Di kursi roda dan ranjang-ranjang besi itu, mereka mengikat simpul-simpul empati yang selama ini mungkin terabaikan oleh kesibukan kantor dan rumah.
Ketua IKWI Sumbar, Dra. Iva Tureyza Idrus, memimpin rombongan dengan wajah tenang namun bersinar. Ini bukan sekadar seremonial ulang tahun. Ini adalah perayaan tentang merawat jiwa—baik jiwa mereka sendiri maupun jiwa orang-orang yang terlupakan.
Usai misi sosial itu, bus kembali melaju. Kali ini, menuju Tapian Tabiang Barasok, salah satu spot wisata yang sedang naik daun di Bukittinggi. Di sanalah kue ulang tahun berlogo IKWI yang dipesan khusus, dipotong. Tidak ada musik formal atau pesta glamor. Yang ada hanyalah angin pegunungan, tawa para ibu, dan permainan-permainan sederhana yang memanggil kembali kenangan masa kecil: balon-balonan, bola plastik, tebak-tebakan.
Seolah waktu memutar ulang usia mereka. Sejenak, para ibu ini tidak lagi terlihat seperti pekerja keras di balik layar kantor-kantor media. Mereka adalah gadis kecil dalam tubuh dewasa—berlarian, tertawa, menari di antara kabut dan cemara. Seorang ibu dari RRI, yang akrab disapa Bu Ju, menyanyi nyaris tanpa henti sejak pagi. Suaranya yang merdu mengisi setiap jeda perjalanan. Bahkan sopir bus pun sempat lupa bahwa ia sedang menyetir rombongan ibu-ibu, bukan sedang dalam perjalanan tamasya band musik lawas.
Sepanjang jalan pulang, lagu nostalgia terus mengalun. Lagu-lagu lama, tapi masih lekat di hati. Di dalam bus itu, bukan hanya ulang tahun IKWI yang dirayakan, tapi juga ulang tahun semangat. Semangat untuk terus hadir. Untuk terus menjadi cahaya, walau kadang hanya di balik layar.
Karena begitulah IKWI: diam-diam bekerja, diam-diam mencintai, diam-diam mengubah dunia dari balik meja dan ruang redaksi.
Dan hari itu, 26 Juli 2025, mereka membuktikan satu hal: bahwa merawat sesama tak selalu harus dengan megah—kadang cukup dengan kue ulang tahun, lagu nostalgia, dan tawa yang tulus dari perempuan-perempuan yang tahu bagaimana memberi, tanpa perlu banyak bicara.
(*)
Tidak ada komentar