Enrekang, katasulsel.com — Di tengah gelombang digitalisasi yang tak lagi terbendung, langkah-langkah senyap namun strategis justru datang dari lereng-lereng Maiwa. Di sebuah aula sederhana di Kelurahan Bangkala, Selasa, 29 Juli 2025, geliat transformasi itu mulai dideklarasikan: pelatihan sistem digital tata kelola produksi dan pemasaran gula aren berbasis smart community. Sebuah gerakan yang bukan hanya mengajarkan teknologi, tetapi juga mengubah cara berpikir.
Pelatihan yang diprakarsai oleh Tim Pengabdian Masyarakat pimpinan Sandi Lubis, S.IP., M.A.P., tak sekadar datang membawa modul atau slide presentasi. Mereka membawa visi: menjadikan gula aren—komoditas tradisional yang kerap luput dari perhatian kebijakan industri—sebagai ikon baru ekonomi digital berbasis lokalitas. Didukung oleh Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRTPM) Tahun 2025, program ini menjalin kemitraan dengan CV Insan Mandiri Maiwa, sebuah usaha lokal yang telah lama bergulat dengan tantangan produksi konvensional.
Adry Muhammad, sang pemilik usaha, melihat momentum ini bukan sebagai proyek sesaat, tapi sebagai peluang sejarah. “Pelatihan ini membuka mata kami bahwa digitalisasi bukan hanya milik korporasi besar. Kami juga bisa melakukan tracing produk, menjaga mutu, bahkan mengakses pasar daring secara langsung,” katanya, sambil menunjukkan prototipe kemasan baru gula aren berbasis QR code.
Sebagai pemateri utama, hadir Aksal Mursalat, S.P., M.Si., yang dikenal sebagai akademisi sekaligus praktisi digitalisasi pertanian. Dalam pemaparannya, Aksal menyentuh hal mendasar yang selama ini luput dari perhatian: paradigma. “Bicara digital bukan hanya bicara alat, tapi juga soal membangun budaya data, efisiensi, dan kepercayaan. Smart community bukan hanya istilah tren, tapi pola hidup baru,” tegasnya.
Gula aren, selama ini diproses secara turun-temurun dengan cara tradisional, kini mulai menapaki jalur yang lebih presisi dan terukur. Para petani nira dan pelaku UMKM yang hadir, sebagian besar adalah generasi muda desa, tampak antusias saat melakukan simulasi pemasaran melalui e-commerce, serta pengenalan dashboard produksi digital yang mampu mencatat setiap tahap pengolahan secara real-time.
Sandi Lubis menegaskan bahwa keterlibatan akademisi bukan hanya dalam bentuk pelatihan singkat. “Kami ingin membangun ekosistem. Ekosistem digital yang tidak meninggalkan kearifan lokal, tapi justru menjadikannya fondasi utama. Ini bukan sekadar transfer ilmu, tapi transformasi bersama,” katanya.
Pelatihan ditutup dengan terbentuknya kelompok kerja digital, terdiri dari petani, pelaku UMKM, dan pemuda setempat. Mereka sepakat untuk mulai mengintegrasikan sistem pencatatan produksi, mengelola pemasaran secara daring, serta membangun identitas merek lokal yang kuat.
Dari pelosok Maiwa, sebuah gagasan besar kini mulai bertunas—bahwa ketika teknologi menyatu dengan semangat kolektif dan akar budaya, transformasi bukan lagi impian, tapi kenyataan yang bisa dikelola. Gula aren Enrekang mungkin masih sederhana secara fisik, tapi di balik manisnya, kini tersimpan peta jalan menuju ekonomi digital berbasis komunitas.
Tidak ada komentar