Penulis: Achmad Sugiyanto/Jakarta
Dan, Camellia Panduwinata—yang dulu kita kenal sebagai Camel Petir—memilih tidak menunda. Tidak menunggu ada yang terkena baru bertindak. Ia bergerak duluan. Sebelum terlalu banyak yang diam-diam kalah.
Malam 20 Agustus nanti, di Jakarta Barat, ia tidak akan tampil menyanyi. Bukan itu niatnya. Ia akan berbagi. Bukan cerita sukses. Tapi cerita luka. Luka yang, bagi banyak orang, hanya bisa ditambal dengan solidaritas.
Camel tidak sedang mencari panggung. Ia justru memberi panggung. Bagi mereka yang tubuhnya tengah digerogoti sel-sel yang tumbuh tanpa kendali. Bagi para penyintas kanker, yang sebagian besar bahkan tidak bisa membayar ongkos rumah sakit.
Akan ada musik di acara itu. Akan ada lelang amal. Tapi yang lebih penting: akan ada wajah-wajah yang selama ini berjuang dalam diam. Yang berobat dengan mencicil. Yang bertahan dengan menunggu mukjizat.
Camel tahu, mukjizat tidak datang sendiri. Ia harus diantar. Dan itu yang ingin dia lakukan malam itu.
Ia tidak sendiri. Beberapa kawan selebritas akan bergabung. Menyanyi, mungkin. Melelang barang pribadi mereka, mungkin. Tapi lebih dari itu, mereka akan mendengarkan. Akan menyaksikan bahwa di balik statistik, ada manusia.
Camel ingin mengumpulkan dana. Iya. Tapi ia lebih ingin mengumpulkan perhatian. Bahwa kanker bukan hanya urusan medis. Tapi juga urusan rasa.
Kanker memang tidak pilih kasih. Ia bisa menyerang siapa saja. Tapi kemampuan melawan sangat bergantung pada satu hal: siapa yang peduli.
Dan malam itu, Camel memilih peduli.
Tidak ada komentar