Pernahkah Anda bayangkan sebuah dunia tanpa remot TV? Tanpa dekoder. Tanpa kabel panjang yang melilit di belakang lemari. Di banyak rumah saat ini, itu bukan lagi bayangan — itu kenyataan.
Penulis: Edy Basri
TV kabel, yang dulu menjadi primadona hiburan di era 90-an hingga awal 2000-an, kini mulai sepi peminat. Bukan karena tayangannya membosankan. Tapi karena ritme kehidupan berubah. Sekarang, semua orang menginginkan sesuatu yang cepat, bisa diakses kapan saja, dan tak perlu menunggu jadwal tayang. Dunia sedang memeluk layar yang lebih kecil — ponsel — dan melepas genggaman pada layar besar di ruang tamu.
Remaja hari ini tidak lagi tumbuh dengan tontonan “jadwal tetap.” Mereka lahir dan besar di tengah lautan konten tak berujung: scrollable, likable, bisa diputar ulang. Mereka tidak mengenal istilah “acara dimulai pukul 7 malam.” Mereka mengenal YouTube, TikTok, Reels, dan Netflix. Sekali klik, semua tersedia.
Dan dari sinilah revolusi kecil itu bermula: TV bukan lagi soal antena, kabel, atau channel. Ia telah menjadi aplikasi. Streaming bukan lagi fitur tambahan — ia sudah menjadi kebutuhan pokok.
Di kota-kota besar, mungkin ini sudah lazim. Tapi menariknya, gelombang ini juga sampai ke daerah-daerah. Di Sulawesi Selatan, misalnya. Media lokal katasulsel.com melihat perubahan itu lebih awal. Mereka tidak menunggu siaran nasional mampir. Mereka membangun siarannya sendiri. Maka lahirlah Kat TV, sebuah kanal berbasis internet yang menyajikan konten lokal, live streaming, hingga edukasi hukum — langsung dari akar masyarakatnya.
Tidak ada tower. Tidak ada frekuensi. Hanya kamera, koneksi internet, dan keberanian melawan arus lama.
Dan ternyata, penonton ada. Bahkan terus bertambah. Karena masyarakat mulai merasa, ini lebih dekat. Lebih cepat. Lebih menyentuh mereka yang selama ini tak tersentuh layar nasional. Kat TV tidak meniru. Ia menciptakan sendiri gayanya — khas Sulawesi Selatan, dengan rasa dari tanah sendiri.
Fenomena ini juga terasa di media sosial. Orang tak lagi menunggu reporter. Mereka bisa menonton kejadian langsung dari kamera warga, live dari lokasi kejadian. Wartawan kadang terlambat datang, tapi internet selalu duluan. Siapa cepat, dia tayang.
Di sisi lain, stasiun-stasiun TV nasional juga mulai banting stir. Mereka membangun platform digital, membuat aplikasi, bahkan tayangan eksklusif via YouTube. Mereka tidak lagi memaksakan sistem lama pada penonton baru. Karena itu bunuh diri.
Pertanyaannya, ke mana TV kabel?
Sebagian masih bertahan. Tapi lebih karena kebiasaan, bukan karena kebutuhan. Di hotel-hotel, rumah dinas, atau kantor pemerintahan, ia masih dipasang. Tapi nyaris tak ada lagi anak muda yang mengandalkannya. Bahkan orang tua pun mulai beralih ke ponsel.
Bersambung…
Tidak ada komentar