Siang itu, Jalan Poros Sidrap-Pinrang bukan cuma jadi jalur kendaraan. Ia berubah jadi panggung kecil sebuah cerita yang sederhana, tapi penuh arti.
Oleh: Edy Basri
Kapolres Sidrap, AKBP Fantry Taherong, berjalan pelan. Dengan senyum yang ramah, ia menghampiri anak-anak dan pengendara yang berhenti. Ia membagikan bendera merah putih, bukan sekadar kain, tapi lambang jiwa bangsa yang bergelora.
Anak-anak yang menerima bendera itu tak hanya pegang kain. Mereka pegang sesuatu yang lebih: harapan, kebanggaan, bahkan mungkin mimpi. Ada kilatan mata yang tak bisa disembunyikan—bahagia, bangga, dan sedikit takjub.
Saya pernah lihat banyak cara membangun nasionalisme. Tapi begini? Lewat tindakan sederhana, berbagi bendera kecil di jalan raya? Ini cara yang punya nyawa.
Kapolres Fantry bilang, “Anak-anak harus kita tanamkan cinta tanah air sejak dini.” Sederhana, tapi bagaimana menanam cinta? Lewat kata-kata atau lewat hati? Ini, lewat bendera kecil yang disentuh tangan mereka sendiri.
Dan di era serba digital, di mana layar lebih banyak menyerap perhatian, sebuah bendera kecil jadi jendela kecil yang membuka ruang kenangan perjuangan. Bahwa kemerdekaan bukan hadiah, tapi perjuangan keras—darah, keringat, air mata.
Kapolres dan Wakapolres tak hanya menjaga keamanan. Mereka menjaga jiwa bangsa, satu bendera satu senyum, satu senyum satu harapan.
Hari itu, 100 bendera dibagikan. Seratus bendera kecil yang akan terbang di tangan anak-anak dan pengendara, membelah angin Sidrap, membawa pesan cinta tanah air.
Jalan itu bukan hanya jalur kendaraan. Ia jalur harapan, tempat di mana merah putih tak sekadar warna, tapi detak jantung sebuah bangsa.
Dan di sana, saya tahu, nasionalisme itu bukan soal angka atau seremonial besar. Tapi soal bendera kecil, senyum tulus, dan keakraban yang mengalir dari hati ke hati. (*)
Tidak ada komentar