Makassar, Katasulsel.com – Makassar punya cara sendiri merayakan ulang tahun kemerdekaan ke-80. Tidak di lapangan luas. Tidak dengan drum band atau parade panjang. Tapi di sebuah aula kantor, di Jalan Hertasning No.14. Aula itu milik BRI Cabang Panakkukang.
Di sana, Minggu pagi, 17 Agustus 2025, sekitar seratus karyawan berdiri tegak. Khidmat. Tertib. Mereka ikut mengibarkan bendera Merah Putih. Seolah aula itu berubah menjadi tanah lapang, dan bendera itu tetap punya wibawa yang sama.
Inspektur upacara kali ini bukan tentara, bukan polisi. Ia seorang bankir. Yadi Parman, Manager Operasional BRI Panakkukang. Yang dibacanya bukan pidato ciptaannya sendiri, melainkan teks seragam Direktur Utama BRI, Hery Gunardi. Tapi intonasi dan sorot matanya membuat kata-kata itu seperti lahir dari dirinya sendiri.
“Mari kita isi kemerdekaan dengan karya terbaik,” katanya lantang. “Dengan dedikasi tanpa batas. Kita adalah BRILian, insan yang bekerja bukan hanya untuk BRI, tetapi untuk Indonesia.”
Di tengah semangat itu, tampil juga sang pimpinan cabang. Deli Sopian. Pesannya sederhana tapi menyentuh: kemerdekaan itu hasil perjuangan, dan perjuangan itu harus dipelihara. Ia menambahkan doa kecil: semoga BRI tetap menjadi Bank Rakyat Indonesia yang bersatu, berdaulat, dan ikut membuat rakyat sejahtera.
Tema besar perayaan nasional tahun ini memang pas untuk mereka: Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju. Tema itu seperti menjawab jati diri BRI: hadir di kampung dan kota, di pasar dan sawah, di warung kecil dan toko besar. Memberi kredit mikro, menggerakkan ekonomi lokal, dan membangun jembatan keuangan yang inklusif.
Pidato Presiden Prabowo di Senayan sehari sebelumnya juga masih terasa gaungnya. “Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kelaparan, merdeka dari penderitaan,” katanya. Itulah kemerdekaan yang sebenarnya.
BRI Panakkukang, di hari itu, mencoba memberi tafsir sendiri: merdeka dengan semangat kebersamaan. Setelah upacara, mereka tidak bubar begitu saja. Ada lomba dekorasi brilian, ada games, ada badminton. Tidak muluk. Tapi di situlah letak hangatnya.
Darmo Sugiharto, ketua panitia, menutup acara dengan rasa syukur. “Terima kasih untuk semua insan BRILian Panakkukang,” katanya. Wajah-wajah yang tadi kaku di upacara kini berubah cair. Mereka tertawa, mereka bersorak, mereka kembali menjadi keluarga.
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Aula kantor BRI Panakkukang pagi itu mungkin tidak masuk arsip nasional. Tapi di situlah kemerdekaan menemukan makna sehari-hari: sederhana, hangat, tapi sungguh nyata.(*)
Tidak ada komentar