Setelah urusan itu, ia diturunkan di tempat sepi. Malam semakin larut. Lalu datanglah seorang pria. Dengan wajah pura-pura baik, ia menawarkan tumpangan pulang.
Siapa yang menduga? Bukannya ke rumah, Bunga justru dibawa ke rumah kosong.
Di sanalah semuanya pecah. Dua malam panjang, tubuh mungil itu menjadi sasaran.
Kini Bunga kembali ke rumah ayahnya. Ia pucat, lemah, dan takut. Sementara sang ibu kandung hanya bisa mendengar kabar dari jauh, di kabupaten lain.
Betapa beratnya jarak itu, betapa perihnya seorang ibu yang tak bisa berada di samping anaknya saat luka sebesar ini menimpa.
Bunga hidup di tengah keluarga yang tak utuh. Ia punya ayah, punya ibu tiri, tapi tetap saja ada yang kurang. Dan justru dalam ruang kosong itulah, dunia begitu tega mempermainkannya.
Sidrap menyimpan luka baru. Bunga mungkin akan menanggungnya sepanjang hidup. Luka batin yang tak bisa dihapus begitu saja. Tapi satu hal masih bisa dilakukan: memastikan keadilan tidak ikut menjauh darinya.
Anak-anak seperti Bunga mestinya dijaga. Bukan dibohongi, bukan disekap, apalagi diperkosa. Karena anak berusia 14 tahun itu belum sempat merasakan hidup seutuhnya, tapi dunia sudah lebih dulu merenggutnya. (*)
Tidak ada komentar