Saya mengangguk. Kagum. Anak Sidrap ini bukan cuma jual aroma. Sudah masuk ke industri ekstraktif. High risk. High return.
Obrolan melebar. Dari Sidrap ke Nabire. Dari toko ritel ke tambang emas. Dari margin tipis parfum ke margin tinggi mineral.
SBY bicara tenang. Tapi matanya menyala. Seperti dosen bisnis. Saya mahasiswa. Kuliah privat. Gratis.
Waktu berjalan. Kami pindah. Naik lagi. Lantai enam. Untuk makan malam.
Di meja sudah tersaji: konro sapi dan telur bebek.
Saya tersenyum. Ini bukan menu “orang kaya baru”. Bukan steak impor. Bukan wine merah. Tapi konro. Empuk. Gurih. Lokal taste.
Kami makan lahap. Obrolan makin cair. Tentang karyawan. Tentang cabang. Tentang brand agar tidak cepat basi.
Saya jadi tahu. Bisnis parfum itu bukan cuma jual wangi. Ada distribusi. Ada branding. Ada positioning. Dan tentu: ada cash flow.
Margin parfum tipis. Salah kelola, habis.
Malam itu, rumah besar di Jl Sunu berubah jadi kelas bisnis. SBY dosen. Saya mahasiswa.
Sayangnya, saya harus pamit. Ada janji lain. Dengan mahasiswa Unhas. Soal kerja sama media.
Sebelum pulang, SBY memberi hadiah. Sabun deterjen. Tapi bukan sabun biasa. Diracik dengan parfum khusus.
Harumnya lembut. Berkelas. Saya tahu: ini bukan sekadar hadiah. Ini simbol.
Bahwa inovasi tidak pernah berhenti. Bahkan sabun pun bisa naik kelas kalau disentuh pengusaha kreatif.
Saya pulang dengan tiga hal: sabun di tangan. Konro dan telur di perut. Cerita penuh di kepala.
Tentang seorang anak Sidrap. Dari parfum. Menyebar ke emas.
Bersambung ke Halaman 3….
Tidak ada komentar