Oleh: Edy Basri – Makassar
Arham Rahim. 51 tahun. Nama yang dulu dipuja-puji sebagai pengusaha proyek. Kini hanya tersisa catatan hukum. Proyek fiktif. Penipuan. Rp1,5 miliar.
Ia bukan sembarang pelarian. Hampir setahun ia mengelabui aparat. Pindah-pindah. Menyelinap. Memburu waktu. Sementara putusan Mahkamah Agung sudah jelas: 3 tahun penjara.
Di Rawamangun, Jakarta Timur, Selasa sore itu, langkahnya terhenti. Jalan Tirtasari menjadi saksi. Tim Intelijen Kejaksaan Agung bergerak cepat. Tanpa drama. Tanpa suara. Selesai.
Namanya langsung dicatat: buronan DPO yang berhasil ditangkap. Diserahkan ke Kejati Sulsel. Diberangkatkan ke Makassar. Tidak ada lagi ruang sembunyi.
Kasusnya sederhana, tapi memalukan. Mei 2022, ia menjual mimpi. Katanya ada proyek pembangunan kantor Kejari Makassar. Bahkan kontraknya ada. Suratnya rapi. Ternyata palsu. Korbannya percaya. Uang Rp1,5 miliar pun melayang.
Padahal, proyek itu tidak pernah ada.
Di pengadilan, ia kalah. Pasal 378 KUHP jelas menjeratnya. Tapi saat jaksa hendak mengeksekusi, ia justru menghilang. Satu tahun penuh aparat dibuat main petak umpet.
Kini petak-umpet itu tamat.
Kepala Kejati Sulsel, Agus Salim, tersenyum lega. Tim Tabur boleh berbangga. “Tidak ada tempat aman bagi buronan,” begitu intinya.
Ya, penangkapan ini lebih dari sekadar mengamankan seorang terpidana. Ini tentang pesan. Tentang gengsi. Tentang wajah penegakan hukum yang tidak boleh kehilangan wibawa.
Arham Rahim mungkin mengira bisa bersembunyi selamanya. Bisa lari dari vonis. Bisa membeli waktu.
Nyatanya, hukum tidak pernah tidur. Ia hanya menunggu. Dan begitu saatnya tiba, hukum mencengkeram tanpa ampun.
Malam itu, Makassar menanti. Buronan 11 bulan itu akhirnya kembali. Bukan sebagai pengusaha. Tapi sebagai terpidana. (*)
Tidak ada komentar