Oleh: Edy Basri
Ia menulis tentang kebijakan pemerintah. Ia verifikasi data. Telepon narasumber. Cek ulang. Hampir tiga jam baru tuntas.
Sore harinya, berita itu tayang. Tapi… publik sudah sibuk membahas hal lain. Gosip artis. Viral di TikTok.
Tayangnya cuma 15 detik. Tanpa verifikasi. Tanpa cek data. Dan sudah ditonton sejuta orang.
Wartawan tadi geleng-geleng kepala. Ia kalah. Kalah telak. Dari akun anonim yang bahkan tak punya nama jelas.
Begitulah jurnalisme hari ini. Fakta bisa kalah dari sensasi. Kebenaran bisa kalah dari algoritma.
Lihatlah media sosial. Berita palsu melesat lebih cepat daripada fakta. Heboh dulu, koreksi belakangan.
Itupun kalau ada. Masyarakat keburu percaya. Karena lebih singkat. Lebih lucu. Lebih gampang dibagikan.
Lalu muncul AI. Pintar. Cepat. Tak kenal lelah. Bisa menulis berita. Bisa bikin ringkasan. Bisa menggambar ilustrasi. Hebat sekali. Tapi sekaligus menakutkan.
Karena mesin ini bisa salah. Bisa bias. Bisa menipu. Ironisnya, banyak orang lebih percaya ringkasan dari mesin ketimbang laporan panjang wartawan. Mesin menang. Wartawan kalah. Nurani? Hilang dari medan perang.
Media konvensional juga megap-megap. Uang iklan kabur ke Google dan Meta. Redaksi kehilangan napas.
Maka lahirlah berita instan. Judul bombastis. Isi tipis. Yang penting klik. Yang penting cuan. Investigasi? Butuh biaya. Siapa yang mau biayai?
Sementara wartawan dipaksa jadi serba bisa. Menulis, memotret, bikin video, main SEO, bahkan coding.
Wartawan jadi tukang sulap. Serba bisa, tapi tak ada yang benar-benar ahli. Pelatihan minim. Gaji kecil. Beban besar.
Dan jangan lupakan soal keselamatan. Wartawan masih bisa ditendang saat liputan demo. Bisa diteror digital saat tulisannya tak disukai. Perlindungan hukum tipis.
Kesejahteraan tipis. Lalu orang bertanya: kenapa jurnalisme kita tak berkualitas? Jawabannya sederhana: siapa yang mau mati-matian kalau hidupnya sendiri tak aman?
Jurnalis hari ini dituntut lebih. Bukan sekadar penulis berita. Mereka harus jadi kurator kebenaran. Penjaga etika. Penghubung realitas.
Pena bisa diganti mesin. Tapi nurani? Tidak. Itu hanya milik manusia.(*)
Tidak ada komentar