Makassar, katasulsel.com – Masa depan pendidikan tinggi kembali mendapat sorotan serius. Panitia Kerja (Panja) Perguruan Tinggi Kementerian dan Lembaga (PTKL) Komisi X DPR RI melakukan kunjungan kerja spesifik ke Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah IX di Makassar, Kamis (11/9/2025).
Dipimpin H. Ir. Haji La Tinro La Tunrung, rombongan legislatif ini mengurai persoalan klasik yang belakangan kian mengemuka: tumpang tindih program studi antara PTKL dengan perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS).
La Tinro menegaskan bahwa kehadiran PTKL semestinya tidak berfungsi sebagai pesaing, melainkan pelengkap. “PTKL harus difokuskan pada pendidikan kedinasan dan vokasi. Jangan sampai justru menimbulkan konflik kepentingan atau diarahkan pada kepentingan komersial,” ujarnya.
Kunjungan ini tidak sekadar seremonial. Hasilnya akan dibawa sebagai bahan krusial dalam penyusunan rekomendasi kebijakan Komisi X DPR RI. Harapannya, tercipta tata kelola pendidikan tinggi yang lebih terarah, efisien, dan selaras dengan kebutuhan pembangunan bangsa.
Di sisi lain, pertemuan itu juga memberi ruang bagi akademisi untuk menyuarakan pandangan visioner. Prof. Dr. Ismail Suardi Wekke, Kabag Kerjasama Universitas Muhammadiyah Barru sekaligus Distinguished Professor North Bangkok University (Thailand), menggarisbawahi pentingnya menciptakan ekosistem pendidikan yang adaptif.
Menurutnya, pendidikan tidak lagi bisa berdiam pada pola lama. “Ekosistem pendidikan harus dinamis, semua unsur harus saling terhubung—guru, mahasiswa, orang tua, hingga teknologi—demi melahirkan pembelajaran yang relevan dengan zaman,” ungkapnya.
Wekke menekankan pergeseran peran dosen menjadi fasilitator dan mahasiswa menjadi pembelajar seumur hidup. Ia juga mendorong integrasi teknologi secara bijak tanpa melupakan basis budaya lokal. “Karakter bangsa tidak boleh hilang di tengah arus transformasi. Pendidikan harus tetap berpijak pada kearifan lokal,” katanya.
Kehadiran pandangan ini mempertegas bahwa tantangan pendidikan Indonesia tidak hanya terletak pada regulasi dan kelembagaan, tetapi juga pada kemampuan semua pemangku kepentingan beradaptasi menghadapi era disrupsi—tanpa kehilangan identitas nasional. (*)
Tidak ada komentar