Sabtu, 20 Sep 2025
Tonton KAT TV

Fekamate, Jembatan Linguistik Muna-Polinesia

Katasulsel.com
20 Sep 2025 10:39
Opini 0 82
5 menit membaca

Keajegan bentuk “feka” di Muna dan Polinesia tentu bukan kebetulan, tapi cerminan jejak purba dari jalur migrasi timur yang menggentarkan.

Tapi, mengapa tidak muncul di Melanesia?

Sumber Proto Oceanic and the Austronesian Languages of Western Melanesia oleh Malcolm Ross (1986), menyebutkan, di Polinesia dan Mikronesia, penutur Austronesia masuk ke wilayah hampir kosong. Jadinya di wilayah itu, Austronesia memiliki populasi besar, dan menjadi dominan.

Ini berbeda di Melanesia, ketika bangsa Austronesia melintasi Melanesia, mereka mendapati daerah itu telah berpenduduk. Mereka minoritas di tengah populasi besar penutur Papua. Jadinya pengaruh linguistik Austronesia terbatas.

Ini juga mungkin bisa menjelaskan, mengapa mereka tidak menetap di Melanesia, sebaliknya meneruskan perjalanan ke arah timur, lalu belok ke Pasifik selatan hingga ke Tahiti dekat Benua Amerika.


Diaspora Bangsa Austronesia

“Mate, Maty, Mati” adalah bahasa purba Austronesia. Bangsa yang diketahui mendiami pulau Taiwan ribuan tahun silam. Mereka adalah leluhur tiga bangsa besar yang ada di Asia dan Oceania saat ini, yaitu Nusantara, Mikronesia dan Polinesia.

Sekitar lima ribu tahun silam mereka tiba-tiba memutuskan menyebar. Berbekal perahu cadik (sejenis perahu layar kecil) manusia Austronesia berdiaspora bersama bahasa mereka, melintasi benua dan membelah samudera luas, mulai dari Pasifik utara dan selatan hingga Samudera Hindia.

Ketika perahu-perahu itu menuruni Filipina, kata “mate” mendapat daya baru. Ia bertemu awalan kausatif “pa”, sehingga menjadi “pa-mate.” Bentuk ini masih ditemukan di Tagalog (pumatay), Cebuano, dan banyak bahasa Filipina lainnya.

Begitu juga di Indonesia, tetap mempertahankan awalan “pa”. Contohnya di Bugis Sulawesi Selatan, prefiks “pa” pada frasa “pa mattengi” dapat ditemukan dalam percakapan sehari-hari masyarakat Bugis.

Namun di titik tertentu, di jalur yang menuju ke timur, tepatnya di Muna (Sulawesi Tenggara), awalan itu berubah wajah. Pa bergeser menjadi “feka” atau “faka”, dan bertahan dari godaan perubahan zaman dengan kejernihan bunyi yang mengejutkan.

Dari sana, para pelaut Austronesia melanjutkan perjalanan. Mereka singgah di negeri-negeri Melanesia seperti Maluku, Halmahera, dan Bismarck. Secara linguistik, jejak mereka masih bisa ditemukan pada masyarakat pesisir pulau-pulau itu, meski dengan kadar yang kecil.

Dari Melanesia, bangsa Austronesia berlayar melanjutkan pengembaraan ke Polinesia, negeri yang berada jauh di Pasifik Selatan. Diduga di Melanesia mereka tak menetap lama sehingga tak banyak mewariskan linguistik pada masyarakat Melanesia.

Dapat dikata, di Melanesia, “feka” terkikis oleh pertemuan dengan bahasa non-Austronesia (bahasa-bahasa Papua pesisir dan Papua pegunungan). Frasa ini menghilang, terkubur dalam keragaman bahasa Melanesia yang luar biasa.

Namun begitu, frasa yang bermula di Tanah Muna itu layaknya jejak purba yang enggan padam. Ia berhasil hanyut bersama perahu layar Austronesia, menembus samudra terbuka dan luas, hingga tiba di Tonga, Samoa, dan Aotearoa (Selandia Baru).

Bersambung…

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Media Portal Berita Berbadan Hukum

PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,

Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)

Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986

Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )