Laporan: Darwis Lenggang
Temanya juga tidak ringan: narasi media, literasi publik, dan gelombang protes Agustus Kelabu.
Yang menggelar: Komunitas Literasi Anak Bangsa (KLAB). Organisasi kecil. Tapi punya energi.
Yang hadir bukan main: mahasiswa, polisi, jurnalis, pegiat literasi, masyarakat umum. Lengkap. Demokrasi mini.
Aryuni Juminarni jadi moderator. Yang membuka diskusi: Arsyidsah, Humas KLAB. Anak muda. Tegas. Baginya, literasi itu benteng. Benteng dari banjir informasi. Dari hoaks. Dari amarah yang salah alamat.
“Agustus Kelabu jadi pelajaran. Banyak yang hanyut dalam emosi. Substansi tuntutan malah tenggelam,” katanya.
Lalu polisi bicara. Kapolsek Mariengngae, IPTU Irwansyah Taufiq. Sederhana. Menenangkan. Katanya, unjuk rasa itu hak konstitusional. Polisi hanya mendampingi. Ia bahkan janji: Polri akan lebih humanis. Akan berbenah. Akan lebih hati-hati.
Bagian yang paling ditunggu: giliran jurnalis.
Edy Basri. Ketua IWO Sidrap. Mantan wartawan Harian Fajar. Kini memimpin Katasulsel.com. Sudah 15 tahun lebih di dunia media.
Bicara Edy selalu berapi. Tapi tenang. Satu kalimatnya langsung menusuk:
“Media adalah cermin. Tapi bisa juga pisau bermata dua.”
Ruangan langsung diam. Semua memperhatikan.
Ia jelaskan: media bisa menerangi jalan demokrasi. Tapi juga bisa mengaburkan kebenaran. Kalau etika dilupakan. Kalau hanya mengejar kecepatan. Kalau tunduk pada sponsor.
Ia contohkan Agustus Kelabu. Media terlalu sibuk menyorot benturan. Polisi melawan massa. Gas air mata. Batu beterbangan. Padahal substansi tuntutan masyarakat: tenggelam.
“Jurnalisme bukan siapa yang cepat. Tapi siapa yang tepat,” katanya.
Tepat.
Kalimat itu sederhana. Tapi itulah yang paling hilang sekarang. Semua kejar cepat. Lupa tepat.
Diskusi lalu mengalir. Pertanyaan datang. Jawaban bersahutan. Tapi tidak gaduh. Suasana cair. Inklusif.
Di akhir, moderator Aryuni menutup: literasi membentuk daya kritis. Polisi menjamin ruang aspirasi. Media menjaga kebenaran. Tiga komponen itu saling melengkapi.
Sidrap sore itu menunjukkan satu hal: demokrasi lokal masih hidup. Masih mau mendengar. Masih punya harapan. (*)
Tidak ada komentar