Penulis: Edy Basri
Daun-daun kuning bertebaran di trotoar. Suasana seperti kota yang sedang berlatih untuk tidur panjang sebelum musim dingin.
Kota Changsha pagi itu sibuk. Lalu lintas padat. Gedung-gedung pencakar langit berdiri di antara bangunan lama yang masih dipertahankan. Di satu sudut kota ini, berdiri kampus Hunan Normal University. Kampus tua, tapi sekaligus modern.
Di auditorium kampus itulah seorang akademisi Indonesia naik ke podium. Dari Papua. Namanya: Ismail Suardi Wekke.
Bagi saya, ini bukan pemandangan biasa. Seorang akademisi Indonesia diundang menjadi keynote speaker dalam konferensi internasional. Topiknya bukan kecil. Kecerdasan buatan dan pendidikan. Topik yang kini jadi perbincangan di mana-mana. Dari Silicon Valley sampai desa terpencil.
Saya perhatikan cara Prof. Wekke membuka materinya. Tidak dengan kalimat-kalimat yang kaku.
Tidak dengan istilah teknis yang sulit dicerna. Ia bercerita. Tentang ruang kelas di Papua yang sederhana. Tentang mahasiswa yang tetap belajar meski listrik kadang padam. Tentang guru-guru yang mencoba memanfaatkan teknologi seadanya.
Ia tunjukkan data. Grafik. Tapi yang membuat auditorium terdiam bukan itu. Melainkan semangat yang ia selipkan dalam kalimat-kalimat sederhana. Tidak ada dramatisasi. Tidak ada gimmick. Justru karena jujur, ceritanya menyentuh.
Ketika sesi tanya-jawab dibuka, seorang profesor senior dari Hong Kong berdiri. Ia berkata: “Pekerjaan Anda luar biasa. Kami harus belajar banyak dari Anda.”
Saya lihat Prof. Wekke hanya tersenyum. Tapi saya tahu, kalimat itu seperti pengakuan yang tulus. Bahwa penelitian dari Papua bisa sejajar dengan penelitian dari universitas besar dunia.
Prof. Wekke punya istilah untuk itu: “daya sanding.” Sebuah keyakinan bahwa akademisi Indonesia tidak harus merasa inferior. Tidak perlu minder. Karena dengan kerja keras, karya kita bisa berdiri sama tinggi, bahkan memberi arah.
Sebenarnya, ia sudah lebih dulu mengantongi status Distinguished Professor di North Bangkok University, Thailand. Tapi apresiasi pagi itu di Changsha terasa berbeda. Ini bukan sekadar gelar. Ini pengakuan di hadapan dunia.
Saya menemani langkahnya di sela-sela konferensi. Ia bukan tipe yang suka membuang waktu. Setiap jeda ia isi dengan pertemuan. Diskusi dengan peneliti Tiongkok. Obrolan dengan akademisi Singapura. Membicarakan kemungkinan riset bersama dengan kolega dari Jerman.
Bersambung………..
Tidak ada komentar