Oleh : Edy Basri
Yang ada: tumpeng.
Ujungnya dipotong.
Diberikan Kapolda Sulsel kepada seorang perwira muda.
Tepuk tangan. Riuh. Tapi hangat.
Itulah cara Polda Sulsel merayakan ulang tahun ke-70 Lalu Lintas Bhayangkara. Di Aula Mappaoddang. Senin siang.
Sederhana.
Tapi penuh makna.
Tema besar hari itu: Lalu Lintas Modern yang Berkeselamatan Menuju Indonesia Emas.
Modern.
Kata yang sering disalahpahami.
Banyak orang pikir: kamera canggih. Tilang elektronik. Aplikasi mutakhir.
Bagi Kapolda Irjen Pol Rusdi Hartono: tidak cukup.
Modern, kata dia, adalah pelayanan. Edukasi. Keteladanan.
“Syukuran ini momen refleksi,” ujarnya.
Pendek. Tapi menancap.
Kapolda ingin polisi lalu lintas bukan sekadar penindak.
Tapi pendidik.
Tidak sekadar menyetop.
Tapi juga menuntun.
Hukum ditegakkan.
Tapi tetap berkeadilan.
Itulah Rusdi. Tegas, tapi lembut.
Usia 70 tahun bukan sebentar.
Lalu lintas sudah jadi wajah terdepan Polri.
Setiap hari, masyarakat berhadapan dengan polisi lalu lintas.
Di jalan raya.
Di simpang empat.
Di zebra cross.
Kalau macet, salahnya lalu lintas.
Kalau kecelakaan, dituding lalu lintas.
Kalau tidak nyaman, lagi-lagi lalu lintas.
Beban berat. Tapi harus ditanggung.
Maka syukuran ini bukan seremonial.
Tapi jeda.
Untuk bercermin.
Sudah sejauh mana?
Sudahkah aman jalan kita?
Sudahkah tertib masyarakat kita?
Jawabannya tentu belum sempurna.
Tapi ulang tahun bukan akhir.
Justru awal.
Setelah sambutan, ada santunan.
Untuk anak-anak yatim.
Untuk yang membutuhkan.
Ternyata lalu lintas tidak melulu soal jalan.
Ada hati di balik seragam.
Aula Mappaoddang penuh.
Para pejabat utama hadir.
Wakapolda Brigjen Nasri duduk di depan.
Tapi suasananya cair.
Seperti keluarga besar.
Kado ulang tahun itu bukan hanya tumpeng.
Bukan sekadar ucapan.
Tapi juga kepercayaan.
Kapolda memberi kado yang tak bisa dibungkus kertas warna-warni:
Harapan.
Bahwa anak buahnya bisa berubah.
Bisa melayani lebih baik.
Bisa lebih ramah.
Bisa lebih tegas.
Tapi tetap manusiawi.
Itu kado ulang tahun paling berharga.
70 tahun lalu, lalu lintas Bhayangkara lahir.
Indonesia masih muda.
Jalan masih sempit.
Kendaraan bisa dihitung.
Kini, jalan raya penuh.
Motor jutaan.
Mobil tak terhitung.
Tantangan makin berat.
Tapi komitmen harus makin kuat.
Kapolda Rusdi sadar.
Zamannya sudah berubah.
Sekarang, lalu lintas tidak bisa hanya mengandalkan peluit.
Atau tubuh polisi berdiri di tengah simpang.
Teknologi harus dipakai.
Tapi teknologi tanpa hati?
Hanya jadi mesin.
Maka, ia menekankan: edukasi.
Mengajarkan masyarakat bahwa keselamatan bukan sekadar kewajiban.
Tapi budaya.
Santunan sore itu sederhana.
Tapi simbolis.
Bahwa di balik peluit ada doa.
Di balik seragam ada kepedulian.
Di balik penindakan ada kasih sayang.
Saya melihat wajah Kapolda sore itu.
Serius. Tapi teduh.
Ia tahu, pekerjaannya tidak ringan.
Menertibkan lalu lintas sama dengan menertibkan budaya.
Budaya yang sering kali keras kepala.
Budaya yang sering kali melawan aturan.
Tapi ia tidak kehilangan optimisme.
“Syukuran ini refleksi,” katanya lagi.
Refleksi itu seperti kaca.
Membuat kita sadar.
Bahwa pekerjaan belum selesai.
Bahwa jalan panjang masih terbentang.
Menuju Indonesia Emas.
Dan di jalan panjang itu, polisi lalu lintas akan terus berdiri.
Menjaga.
Mengarahkan.
Melayani.
Tumpeng sudah habis.
Acara usai.
Tapi maknanya tidak berhenti di Aula Mappaoddang.
Ia terbawa pulang.
Ke setiap jalan raya Sulawesi Selatan.
Ulang tahun ke-70 ini bukan sekadar angka.
Tapi pengingat.
Bahwa lalu lintas adalah wajah Polri.
Dan Kapolda Rusdi ingin wajah itu ramah.
Tapi tegas.
Hangat. Tapi pasti.
Kado ulang tahun itu sederhana.
Tapi mahal:
Kepercayaan masyarakat. (*)
Tidak ada komentar