“Rp43,96 juta per kapita setahun adalah angka yang menandakan kelas menengah regional, namun belum cukup kuat untuk menjadi daya ungkit kesejahteraan yang merata. Tantangannya ada pada peningkatan total factor productivity (TFP), bukan sekadar menambah volume produksi,” ujar seorang akademisi ekonomi di Makassar saat dimintai pandangan.
Di sisi lain, fakta bahwa pertumbuhan tetap positif menunjukkan adanya resiliensi ekonomi masyarakat Enrekang, meski diwarnai berbagai problem kerakyatan seperti keterlambatan upah buruh proyek, infrastruktur dasar yang belum merata, serta keterbatasan akses pembiayaan UMKM.
Hal ini menegaskan adanya paradoks pembangunan, ketika indikator makro memperlihatkan peningkatan, tetapi distribusi manfaatnya belum sepenuhnya dirasakan masyarakat.
Pemerintah daerah diharapkan dapat menjadikan data ini sebagai dasar perumusan kebijakan publik yang lebih responsif.
Upaya meningkatkan efisiensi alokasi anggaran, memperkuat konektivitas wilayah, serta mendorong inovasi ekonomi lokal menjadi kunci agar PDRB per kapita bukan sekadar angka statistik, melainkan bertransformasi menjadi indikator kesejahteraan substantif bagi masyarakat.
Dengan demikian, pencapaian Rp43,96 juta per kapita harus dibaca bukan sebagai garis akhir, melainkan titik tolak menuju pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan berbasis pemerataan. (*)
Editor: Tipue Sultan
Tidak ada komentar