Di luar lapangan, jutaan pendukung menyaksikan dengan dada sesak. Di media sosial, sebagian menumpahkan kekecewaan, sebagian lain memberikan pelukan virtual.
Mereka tahu, ini bukan soal kalah atau menang semata. Ini tentang perjalanan panjang sebuah tim yang sedang belajar menjadi besar. Tim yang dulu diremehkan, kini mampu membuat negara lain menatap serius. Tapi jalan menuju kematangan selalu berliku.
Banyak yang bertanya, apa yang salah? Sebagian menuding finishing yang tumpul, sebagian menyebut kurangnya ketenangan saat tekanan datang, dan ada pula yang melihat belum adanya alternatif taktik ketika lawan berhasil membaca permainan.
Semua kritik sah adanya. Namun, bagi para pemain, kegagalan ini bukan titik akhir. Jay Idzes menyebutnya sebagai pengalaman berharga. “Kami bisa belajar banyak hal dari ini, mencoba berkembang, dan mencoba lolos ke Piala Dunia berikutnya,” ujarnya penuh tekad.
Kegagalan memang pahit, tapi justru di situlah nilai dari perjalanan. Dari setiap kesalahan, ada ruang untuk tumbuh. Timnas Indonesia mungkin jatuh kali ini, namun cara mereka bertanggung jawab—tanpa menyalahkan siapa pun—adalah tanda bahwa mental mereka sudah naik kelas.
Jay Idzes dan rekan-rekannya telah menanam benih penting: keberanian untuk menghadapi kenyataan. Dan dari kenyataan pahit inilah, masa depan sepak bola Indonesia akan menulis bab baru. Bab yang semoga suatu hari nanti tidak lagi berakhir di kalimat “kami menyalahkan diri sendiri,” melainkan “kami berhasil membuktikan diri.” (*)
Editor: Tipue Sultan
Pos Terkait
Trending Post
Tidak ada komentar